Khidmah Dalam Pendidikan

Artikel Mahasiswa    22 Jan 2025    4 menit baca
Khidmah Dalam Pendidikan

Khalifah Harun al-Rasyid pernah mengirimkan anaknya untuk belajar ilmu dan adab kepada seorang ulama. Suatu hari, beliau mengunjungi anaknya tersebut, lalu melihat sang guru sedang membasuh kakinya ketika berwudhu. Sedangkan anaknya terlihat menuangkan air di atas kaki gurunya itu. Menyaksikan kejadian itu, khalifah menegur guru anaknya dan mengatakan kepadanya, “Aku mengirim anakku kepada engkau agar engkau mengajarkan dia ilmu dan mendidiknya dengan adab. Lalu, mengapa engkau tidak menyuruhnya menuangkan air dengan satu tangannya dan membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?”

Kisah di atas diceritakan oleh Imam Az-Zarmuji dalam kitabnya, Ta’lim Muta’alim. Bagi sebagian orang saat ini, cerita ini mungkin terlihat berlebihan. Padahal orang yang bermindset seperti itulah yang tidak memahami konsep khidmah dalam pendidikan.

Khidmah secara bahasa artinya adalah melayani. Hal semacam ini bukanlah hal baru dalam pendidikan. Para sahabat telah mengamalkannya dengan melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam waktu yang cukup lama. Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari disebutkan bahwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berkhidmah kepada Rasulullah selama sepuluh tahun.

Riwayat lain disebutkan oleh Syaikh Abdul Wahab as-Sya’rani dalam kitab Tanbih al-Mughtarin fi al-Qarn al-‘Asyir ‘ala ma Khalafi fihi Salafuhum al-Thahir. Abdurrahman ibnu al-Qasim, salah seorang murid Imam Malik, berkata, “Aku berkhidmat kepada Imam Malik selama dua puluh tahun. Delapan belas tahun aku gunakan untuk mempelajari adab, dan hanya dua tahun untuk mempelajari ilmu. Alangkah bahagianya, seandainya semua waktu itu dihabiskan untuk mempelajari adab.”

Apa Sebenarnya Urgensi Khidmah dalam Pendidikan?

Khidmah hakekatnya adalah bagian dari adab menuntut ilmu, khususnya adab kepada guru. Setiap penuntut ilmu yang tidak menghormati gurunya tidak akan mendapat berkah dari ilmu yang dia pelajari tersebut. Ada nasehat menarik dan berharga yang disampaikan seorang ulama di Kampong Melayu:

“Dengan kesungguhan, ilmu bisa dipahami. Dengan amal, ilmu menjadi bermanfaat. Dengan ridha guru, ilmu menjadi berkah.”

Di era modern ini, konsep khidmah tidak boleh diabaikan. Murid harus ditanamkan adab-adab ilmu, khususnya adab kepada guru. Orang tua juga harus memahami bahwa pendidikan bukan hanya terbatas di dalam kelas, bukan hanya menulis, bukan hanya menghafal, bukan hanya mencatat, atau tidak berakhir hanya sebatas mampu menjawab soal ujian. Pendidikan bisa berwujud membersihkan lingkungan pondok atau sekolah, bisa juga dengan menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan guru sebelum mengajar, dan bentuk pendidikan lainnya.

Sebuah kesalahan besar ketika ada orang tua yang marah ketika melihat anaknya menyapu halaman, membersihkan kamar mandi, atau ruangan lain di sekolah atau pondoknya. Padahal pelajaran yang didapatkan dengan khidmah semacam itu terkadang bisa lebih banyak dan cepat tertanam di hati seorang anak daripada teori yang disampaikan di dalam kelas. Dengan khidmah, seorang penuntut ilmu tidak hanya akan memahami teori ilmu, tetapi juga langsung mengaplikasikan adab ilmu.

Khidmah yang lebih tinggi disampaikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu. Beliau menyampaikan bahwa seorang penuntut ilmu dalam berkhidmah bukan hanya siap membantu gurunya, tetapi juga siap menjadi budaknya. Kata-kata beliau yang sangat masyhur ini dicatat dengan baik oleh Imam Zarmuji: “Ana abdu man ‘allamani harfan wahidan, insya’a ba’a, wa insya’a a’taqa, wa insya’a istaraqqa.” Artinya, “Aku siap menjadi budak orang yang mengajarkanku satu huruf. Jika dia mau, dia boleh menjualku; jika dia mau, boleh membebaskanku; jika dia mau, boleh menjadikanku budaknya.”

Kata-kata sang pintu gudang ilmu ini jangan disalahpahami dan diaplikasikan dengan gegabah. Ini merupakan ungkapan yang menunjukkan puncak kerendahan hati seorang murid kepada gurunya. Pernyataan ini hadir dari seorang yang sudah memahami betul akan kedudukan gurunya dan juga sudah merasakan lezatnya ilmu yang ditanamkan dalam dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang guru besar sangat memahaminya. Oleh karena itu, kita tidak pernah menemukan bahwa Nabi memperbudak seorang pun dari para sahabatnya.

Khidmah adalah salah satu cara untuk meraih hikmah, bukan perbudakan murid. Khidmah tidak akan menurunkan derajat penuntut ilmu. Justru semakin dia rendah hati kepada gurunya, semakin tinggi derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan makhluk-Nya. Tujuan dari khidmah adalah untuk mendidik murid, bukan memperbudak mereka. Oleh karena itu, tugas yang diberikan seorang guru harus sesuai ajaran Islam dan kemampuan murid. Jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka murid boleh menolaknya.

Lalu, Apakah Murid Cukup Berkhidmah kepada Guru dan Tanpa Belajar?

Tentu saja tidak. Keduanya harus berjalan secara berdampingan. Ada saatnya mereka belajar dengan membaca buku-buku, kitab-kitab, mencatatnya, bahkan menghafalkannya. Ada saatnya juga mereka membantu gurunya dalam rangka membuktikan pengamalan adab. Sebagaimana kata Imam Al-Khalil ibn Ahmad dalam gubahan syairnya:

“Khidmahlah kepada ilmu seperti khidmahnya seseorang yang menginginkan sebuah keuntungan, dan teruslah mempelajari ilmu dengan perilaku yang baik.”

Semoga catatan singkat ini memberi sedikit pemahaman kepada kita, para orang tua, dan calon orang tua, tentang betapa pentingnya khidmah dalam membangun adab pada diri anak. Sehingga para orang tua tidak akan marah lagi ketika melihat anaknya berkhidmah. Justru, mereka bangga dan bahagia karena memiliki anak yang mampu mengamalkan adab menuntut ilmu, khususnya adab kepada sang guru.

lanjut baca