Pernikahan Ideal Gerbang Menuju Kesakinahan Keluarga

Artikel Mahasiswa    06 Feb 2025    7 menit baca
Pernikahan Ideal Gerbang Menuju Kesakinahan Keluarga

Islam dengan syariat yang mulia menjadikan pernikahan sebagai bentuk ibadah yang agung dan suci. Rasulullah ﷺ bersabda:

ٌعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ اَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاء

Dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu yang telah mampu, maka menikahlah, karena pernikahan akan lebih bisa menjaga mata dan kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah, karena puasa merupakan benteng penjagaan.” (HR. Bukhari: 5065)

Rasulullah ﷺ dengan tegas memerintahkan kepada kaum muda yang sudah memiliki kesiapan agar segera menikah tanpa harus banyak berpikir dan menunggu-nunggu. Karena menikah merupakan perbuatan yang mulia dan disukai oleh Al-Khaliq. Bahkan Allah mengingatkan bahwa amal yang terpuji ini merupakan penyempurna separuh agama.

“Dunia ini dijadikan Allah penuh perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah istri yang shalihah.” (HR. Muslim)

Jika datang (melamar) kepadamu orang yang engkau senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu). Jika kamu tidak menerima (lamarannya), niscaya akan terjadi malapetaka di bumi dan kerusakan yang luas.” (HR. At-Tirmidzi)

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu mampu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih sayang...” (Qs. Ar-Rum: 21)

As-sakanu atau ketentraman di sini bukan hanya sekadar ketentraman dari syahwat yang bergejolak, tetapi juga ketentraman dari kebingungan dalam jiwa seseorang. Dari situ, seseorang merasakan kekosongan yang harus disempurnakan, kelemahan yang harus dikokohkan, kecukupan, serta sesuatu yang dapat menghibur dan menggembirakan.

Rasulullah ﷺ sudah membuktikan hal itu. Saat Rasulullah ﷺ mengalami kesedihan dan kesempitan karena penolakan, celaan, atau hinaan yang beliau alami dalam berdakwah, Khadijah radhiallahu ‘anha adalah orang pertama yang menghibur, menemani, dan meyakinkan beliau. Khadijah radhiallahu ‘anha mampu menjadi sosok yang penenang atas kecemasan dan keresahan yang Rasulullah ﷺ rasakan.

Ikhwati! Di sini tampak jelas keimanan dalam perkataan Khadijah radhiallahu ‘anha sebagai pelipur yang menenangkan. Itulah sebabnya ketika Khadijah pulang ke rahmatullah, beliau amat sedih, karena istri yang bukan hanya menjadi kekasih hatinya, tetapi juga sahabat dalam kehidupan beliau. Begitulah kemuliaan sistem pernikahan ini, sehingga syariat Islam menilai dan menetapkan bahwa pernikahan adalah setengah dari kesempurnaan agama dan iman.

Selalu ada hal dalam setiap hal, termasuk ketika berumah tangga. Tidak akan pernah ada keluarga sebelum berumah tangga, dan tidak akan ada rumah tangga sebelum menikah. Maka menikah menjadi niscaya agar keluarga meraih keberkahan dalam bingkai kesucian niat beribadah kepada Allah semata.

Menikah adalah kata yang mengakhiri masa lajang seseorang. Kata ini pula menjadi penanda akhir dari semua hal yang bersifat kesendirian. Ruang kesendirian itu telah terisi oleh sebuah nama, pasangan kita, suami atau istri kita kelak. Saat itulah sepasang insan mengingat janji atas nama Allah untuk membina rumah tangga. Genaplah sudah separuh din!

Selanjutnya, hari-hari yang bergulir di depan adalah lembaran kosong yang mencatat kerja besar sepasang suami istri. Kerja amal shaleh. Tak penting kisah yang dicatat bertabur bunga atau malah penuh derita. Asalkan semuanya bermuara hikmah penambah keimanan, maka kebahagiaan seperti rumah tangga Rasulullah ﷺ pun dapat kita raih.

Rumah tangga ibarat sebuah kendaraan. Ia digunakan untuk menempuh sebuah perjalanan. Seluruh anggota keluarga adalah ibarat penumpang dengan perannya masing-masing. Perumpamaan ayah dan ibu ibarat nahkoda dan navigator. Merekalah yang memiliki rencana dan akan mengumumkan kepada seluruh anggota keluarga, ke mana tujuannya, lama perjalanan yang ditempuh, dan apa yang akan dilakukan sesampainya. Berbekal informasi tersebut, maka anggota keluarga dapat mengukur persiapannya, apa saja bekal yang dibutuhkan. (Budi Ashari, IRC, 2017).

Ketika berbicara tentang pernikahan ideal, tentu kita perlu mengetahui terlebih dahulu, apa saja faktor penting sebelum kita mencapai hal tersebut. Karena sejatinya, keluarga dibangun di atas mimpi-mimpi besar setiap pasangan. Keluarga yang dibangun dengan mimpi-mimpi besar adalah keluarga yang berperan bagi terbangunnya batu bata peradaban melalui pendidikan keluarga yang visioner, bertujuan, dan strategis. Sebuah rumah tangga akan berjalan sebagaimana mestinya bila kedua pasangan dapat memahami tanggung jawab dan perannya masing-masing. Sebelumnya, kita perlu mengokohkan pondasi itu dengan persiapan-persiapan sebagai berikut:

1. Berbenah Diri untuk Mendapatkan yang Terbaik

Allah ﷻ berfirman yang artinya:
“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An-Nur: 26)

Yaitu dengan berbenah diri, berusaha untuk bertaubat dan meninggalkan segala kemaksiatan yang dilakukannya, kemudian menambah ketaatan kepada Allah ﷻ.

2. Bekali Diri dengan Ilmu

Ilmu adalah bekal penting bagi seseorang yang ingin sukses dalam pernikahannya dan ingin membangun keluarga Islami yang SAMARA. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama tentunya. Allah ﷻ berfirman, yang artinya:

“Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11)

3. Siapkan Harta dan Rencana

Tidak dapat dipungkiri bahwa pernikahan membutuhkan kemampuan harta. Minimal untuk dapat memenuhi beberapa kewajiban yang menyertainya, seperti mahar, mengadakan walimah, dan kewajiban memberi nafkah kepada istri serta anak-anak. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Namun, kebutuhan akan harta jangan menjadi penghalang menikah atau menunda pernikahan karena disebabkan belum banyak harta.

Bagan di atas bisa menjadi pertimbangan kalian, ikhwah, mau memilih yang mana? Nikah saat mapan atau nikah sambil mapan?

4. Pilihlah dengan Baik

Menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup, tidak hanya untuk satu atau dua hari saja, bahkan seumur hidup insya Allah. Orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti, dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup. Setiap muslim atau muslimah yang ingin beruntung di dunia dan akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami atau istri yang baik agamanya, memahami akidah Islam yang benar, menegakkan shalat, senantiasa mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, serta menjauhi larangan-Nya.

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menganjurkan memilih istri yang baik agamanya: “Wanita dikawini karena empat hal: … hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka.” (HR. Bukhari-Muslim).

Selain itu, ada beberapa kriteria lain yang juga dapat menjadi pertimbangan untuk memilih calon istri atau suami: Sebaiknya ia berasal dari keluarga yang baik nasabnya (bukan keluarga pezina atau ahli maksiat). Sebaiknya ia sekufu. Sekufu maksudnya tidak jauh berbeda kondisi agama, nasab, kemerdekaan, dan kekayaannya.

5. Shalat Istikharah Agar Lebih Mantap

Pentingnya urusan memilih calon pasangan membuat seseorang layak untuk bersungguh-sungguh dalam hal ini. Selain melakukan usaha, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah ﷻ. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah ﷻ agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Salah satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari)

6. Datangi Si Dia untuk Nazhor dan Khitbah

Setelah pilihan telah dijatuhkan, maka langkah selanjutnya adalah Nazhor. Nazhor adalah memandang keadaan fisik wanita yang hendak dilamar agar keadaan fisik tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk melanjutkan melamar wanita tersebut atau tidak. Terdapat banyak dalil bahwa Islam telah menetapkan adanya Nazhor bagi lelaki yang hendak menikahi seorang wanita. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian meminang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah.” (HR. Abu Dawud).

7. Siapkan Mahar

Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah mahar, atau disebut juga mas kawin. Mahar adalah pemberian seorang suami kepada istri yang disebabkan pernikahan. Memberikan mahar dalam pernikahan adalah suatu kewajiban sebagaimana firman Allah ﷻ yang artinya: “Maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa: 24). Dan pada hakekatnya, mahar adalah hadiah untuk sang istri, dan mahar merupakan hak istri yang tidak boleh diambil. Terdapat anjuran dari Rasulullah ﷺ untuk tidak terlalu berlebihan dalam mahar, agar pernikahannya berkah.

Kesimpulan

Akad nikah merupakan launching berdirinya sebuah madrasah. Akad nikah berlangsung bersamaan dengan pengguntingan pita tanda dibukanya sebuah madrasah baru, bersamaan pula dengan dilantiknya sepasang ustadz dan ustadzah yang diwajibkan untuk siap mendidik jundi-jundi kecil yang nantinya akan meneruskan peradaban Islam.

Rasulullah ﷺ dengan tegas memerintahkan kepada kaum muda yang sudah memiliki kesiapan, hendaknya segera menikah tanpa harus banyak berpikir dan menunggu-nunggu, karena nikah itu perbuatan yang mulia dan disukai oleh Al-Khaliq. Bahkan Allah ﷻ mengingatkan bahwa amal yang terpuji ini merupakan penyempurna separuh agama.

Menikah adalah kata yang mengakhiri masa lajang seseorang. Kata ini pula menjadi penanda akhir dari semua hal yang bersifat kesendirian. Ruang kesendirian itu telah terisi oleh sebuah nama, pasangan kita, suami atau istri kita kelak. Saat itulah sepasang insan mengingat janji atas nama Allah untuk membina rumah tangga. Genaplah sudah separuh din!

Selanjutnya, hari-hari yang bergulir di depan adalah lembaran kosong yang mencatat kerja besar sepasang suami istri. Kerja amal shaleh. Tak penting kisah yang dicatat bertabur bunga atau malah penuh derita. Asalkan semuanya bermuara hikmah penambah keimanan, maka kebahagiaan seperti rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun dapat kita raih.

Menuju pernikahan ideal, kita perlu menyiapkan beberapa hal, yaitu: berbenah diri untuk mendapatkan yang terbaik, membekali diri dengan ilmu, menyiapkan harta dan rencana, memilih pasangan dengan baik, shalat istikharah untuk memantapkan pilihan, mendatangi si Dia untuk nazhor dan khitbah, kemudian siapkan mahar lalu akad nikah.

Saran

Belum sanggup menikah, namun belum dimampukan oleh Allah ﷻ? Allah ﷻ berfirman yang artinya: “Orang-orang yang belum mampu menikah hendaknya menjaga kesucian diri mereka sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33).

Rasulullah ﷺ juga menyarankan kepada orang yang belum mampu untuk menikah untuk banyak berpuasa, karena puasa dapat menjadi tameng dari godaan untuk bermaksiat. Selama masih belum mampu untuk menikah, hendaknya ia menyibukkan diri pada hal yang bermanfaat. Karena jika ia lengah sejenak saja dari hal yang bermanfaat, lubang kemaksiatan siap menjerumuskannya.

Oleh: Diah Saraswati

Alumni AGA Angkatan 4

lanjut baca