JANGAN BERHENTI BELAJAR

Artikel Dosen    13 May 2024    6 menit baca
JANGAN BERHENTI BELAJAR

Ditulis oleh Ustadz Djalal Abu Fahd, Lc.

 

Sebagai seorang guru, ustadz maupun kyai selalu dituntut menjadi sempurna, atau dipandang bisa dalam segala hal, tidak terkecuali dalam memahami orang-orang sekitar. Sebab itulah, banyak seorang guru mengambil tindakan dan upaya untuk selalu meningkatkan kemampuannya. Beberapa cara yang biasanya dilakukan seperti: mengikuti pelatihan, membaca dan berbagai aktivitas untuk menambah ilmu yang nantinya akan ditularkan kepada siswa atau mahasiswanya. Tentu saja hal tersebut merupakan sikap yang sangat baik dari segi keilmuan. Hanya saja sikap yang dilakukan tersebut menjadi kurang seimbang jika hanya untuk gengsi-gengsian sesaat.

Bagi guru, menjadi penting karena mereka tidak hanya berhadapan dengan satu jenis trah saja. Seorang guru akan menghadapi orang bodoh, orang pintar dan orang miskin dan orang kaya. Tentu saja cara menghadapinya pun sangat berbeda. Jika guru, kyai mampu memahami orang-orang yang disekitarnya, baik siswa atau masyarakat, mampu pula dia mengarahkan orang-orang yang membutuhkannya, dengan cara-cara berdasarkan kebutuhan siswa, bukan keiinginannya.

Faktanya, masih ada guru yang merasa bahwa ia sudah terlalu tua, gengsi plus malu jika harus duduk di majelis ilmu untuk mendengar para kyai, ustadz menyampaikan ilmu yang berharga, dan akhirnya enggan untuk belajar. Padahal ulama di masa silam, bahkan sejak masa sahabat, tidak pernah malu untuk belajar. Mereka tidak pernah putus asa untuk belajar, meskipun sudah berada di usia senja. Seolah-olah tidak ada pada kamus mereka kata terlambat untuk belajar. Ada yang sudah berusia 26 tahun baru mengenal Islam, bahkan ada yang sudah berusia senja -80 atau 90 tahun- baru mulai belajar. Namun, mereka-mereka inilah yang menjadi ulama besar karena disertai ‘uluwwul himmah (semangat yang membara dalam belajar).

Urwah bin Zubair rahimahullah pernah menasehati anak-anaknya,

يا بني تعلموا فإنكم إن تكونوا صغراء قوم، عسى أن تكونوا كبراءهم، واسوأتاه ماذا أقبح من شيخ جاهل

“Duhai anak-anakku belajarlah kalian, karena sesungguhnya jika kalian termasuk orang yang berusia muda pada suatu kaum, semoga kalian menjadi pembesar mereka, dan alangkah buruknya, adakah yang lebih buruk dari daripada seorang tua yang bodoh?”. (Hayaatus Salafi Bainal Qouli Wal ‘Amali : 836).

Imam Ahmad ditanya:

Apakah seseorang itu dengan menempuh perjalan atau bepergian untuk mencari ilmu?” 

Beliau menjawab:

“Ya, tentu!, bahkan, demi Allah! sangat ditekankan!. 

Sungguh-sungguh, Àlqomah bin Qais An-Nakhoìy dan Al-Aswad bin Yazid An-Nakhoìy, keduanya berasal dari Kufah, apabila telah sampai kepada mereka sebuah hadits dari Ùmar rodhiallahu ànhu, mereka tidak akan merasa cukup begitu saja, hingga keduanya melakukan perjalanan ke kota Madinah dan mendengarkan langsung hadits tersebut dari beliau.”

Ketika Imam Ahmad bin Hambal masih usia beliau, terkadang ia sudah keluar menuju halaqoh para ulama sebelum Subuh. Ibunya saat itu mengambil bajunya dan mengatakan -sebagai tanda sayang pada Imam Ahmad-, “Tunggu saja sampai suara adzan dikumandangkan atau tiba waktu Subuh.”

 

TIDAK CUKUP SATU GURU

Jika kita mau menoleh ke belakang sejenak,kita jumpai hampir sepanjang sejarah kita disuguhkan bagaimana semangat dan pengorbanan para ulama untk mendapatkan suatu ilmu. Tak jarang mereka harus menempuh ribun kilo perjalanan, panasnya terik matahari, dan rasa lapar yang mengiris ulu hati, bahkan tak jarang harus rela berdarah-darah untuk berjumpa dengan sorang guru menimba ilmu.

Para salafunas saleh tidak pernah puas dan mencukupkan satu guru. Lagi-lagi kalu kita baca perjalanan para ulama dalam menuntut ilmu kita dapati ada sebagian mereka yang berguru sampai ribuan ulama. 

Al-Imam Adz-Dzahabi mengisahkan tentang perjalanan Umar bin ‘Abdul Karim Ar-Rawasi dalam mencari ilmu,

“‘Umar bin ‘Abdul Karim Ar-Rawasi melakukan perjalanan untuk mencari ilmu dan mendengarkan ilmu dari 3.600 syaikh. Pada suatu perjalanan, sebagian jari-jemarinya rontok dikarenakan cuaca yang sangat dingin dan bersalju. Sedangkan tidak ada sesuatu pun padanya untuk menghangatkan badan.” (Tadzkirah Al-Huffazh (4/1238)

Ini yang mungkin sudah banyak ditinggalkan di zaman ini, lebih-lebih mereka yang sudah mengajar, jadi kyai besar dan ulama kondang. Merasa sudah cukup mumpuni padahal ia tahu permasalahan zaman semakin beragam dan butuh ilmu yang mapan.

Karena tidak semua metode guru sama dalam menyampaikan pelajaran, boleh jadi ia baik dalam tulisan, tidak baik dalam penyampaian, boleh jadi ia mahir dalam bahasa, kurang dalam fiqih. Boleh jadi ia mahir dalam retorika dan kurang dalam tulis menulis, boleh jadi dalam penyampaian ada yang halus dan keras, cenderung diam atau menggelegar dalam suara. Setiap orang tabiatnya beda.

Namun jangan ta'asub secara berlebihan atau bahkan  merendahkan sumber ilmu. Karena tidak ada manusia hari ini, yang terkumpul semua hal dari ilmu pada dirinya. Mencukupkan satu atau beberapa guru, boleh jadi akan membatasi pengetahuan dan boleh jadi ada satu faidah yang tidak di miliki oleh guru satu dengan yang lain.

 

SERUPA TAPI TAK SAMA

Serupa bisa jadi, namun sama belum tentu, betapa banyak hal-hal yang sekilas nampak serupa namun ketika dicermati baik baik terbukti tidak sama alias berbeda. 

Di sinilah letak ketekunan dan kejelian orang yang berilmu, mengkaji, menganalisa dengan seksama hingga akhirnya dapat membedakan antara berbagai hal yang sekilas nampak serupa.

Sedangkan orang yang kurang ilmu, sering kali malas untuk berpikir apalagi sampai mengharuskan dirinya merenung dalam waktu lama. Mereka lebih sering mencukupkan diri dengan penilaian sekilas walaupun sering kali terbukti kesimpulannya salah.

Sejarah telah membuktikan betapa banyak murid beda pendapat dengan guru, dan semua berjalan baik baik saja. Namun kini, betapa banyak orang yang belum siap melihat fakta itu, mereka menuntut murid harus "sendiko dawuh" sama guru, tidak boleh beda pendapat, sekecil apapun, bila tidak, maka akan segera dihukumi dengan label "kurang ajar" "tidak santun" "tidak menghormati orang tua".

Andai kondisi ini terjadi, bisa jadi tidak ada mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

Imam Malik adalah guru Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad adalah murid Imam Syafii. Walau demikian, sejarah telah membuktikan mereka bukan hanya berbeda pendapat dalam satu atau dua masalah. Betapa banyak masalah yang mereka berbeda pendapat, tanpa ada masalah antara mereka.

Masalah terjadi, bukan antara guru, karena sesama guru memahami bahwa perbedaan pendapat itu dinamika ilmu. Namun masalah kemudian terjadi antara sesama murid, karena mereka "kurang ngaji" dan sering kali "ada kepentingan terselubung" dibalik perbedaan pendapat guru, bahkan ada "perbedaan pendapatan" murid yang diselimuti dengan perbedaan pendapat guru.

Karena ulah murid yang kurang ngaji ini, muncullah fanatik mazhab dan perseteruan tercela antara sesama murid. Karena itu, wahai para murid, ustadz dan kyai waspadalah, jangan berselimut dengan perbedaan pendapat guru, dan  sadarilah bahwa antara guru guru anda pasti akan terjadi perbedaan pendapat, dan akan terus terjadi perbedaan pendapat, karena itu bagian dari dinamika ilmu.

Dahulu, Imam Qatadah As Sadusy berkata:

من لم يعرف الاختلاف لم يشم رائحة الفقه بأنفه

 Orang yang belum mengenal perselisihan pendapat para ulama' berarti batang hidungnya belum pernah mencium aroma Ilmu Fiqih . (Ibnu Abdil Bar dalam kitab Jaami' Bayaanil Ilmi Wa Fadhlihi)

Intinya banyak-banyaklah mengaji dan banyak mencari guru yang mumpuni. Guru yang mengilmui, meneladani dan menginspirasi, bukan buru yang menghadirkan kontroversi. Jangan puas dengan satu guru. Boleh jadi banyaknya pertikaian di tubuh umat ini lantaran masih banyak yang merasa sudah alim, merasa cukup ilmu dan tak butuh belajar lagi. Padahal tidak ada kata sudah dalam menuntut ilmu. Selalu ada ilmu baru yang kudu dikaji dan dipahami untuk mencerdaskan umat.

Benar apa kata Ibnu Abi Hatim rahimahullah,

لا يثبط عن طلب العلم إلا جاهل

“Tidak akan patah semangat belajar, kecuali orang yang bodoh.”

Tak ada minat yang besar atau rasa haus ilmu yang mendalam, perjuangan seorang dalam menuntut ilmu tak akan bisa bertahan lama. Ia akan cepat kandas. Ibarat pepatah,

Hangat-hangat tahi ayam…masih mau malas-malasan ?!

 

Wallahu A’lam Bisshawab

 


REFERENSI:

  • Kitab Waratsatul Anbiya, karya Syaikh Abdul Malik Al-Qoshim

lanjut baca