Mengikis Mentalitas Pengemis dengan Teladan Nabawi

Artikel Dosen    Siroh Nabawiyah    21 Oct 2025    4 menit baca
Mengikis Mentalitas Pengemis dengan Teladan Nabawi

Dalam hamparan luas ajaran Islam, terukir sebuah konsep agung yang menjadi mercusuar bagi setiap insan: kemuliaan. Allah SWT, Sang Maha Pencipta, menghendaki hamba-Nya untuk senantiasa meraih derajat mulia, bukan dalam kemewahan semata, melainkan dalam esensi jiwa dan perilaku. Kemuliaan ini terwujud dalam dua kutub yang saling melengkapi: seorang kaya yang dermawan, yang tangannya senantiasa terulur memberi tanpa pamrih, dan seorang miskin yang menjaga harga diri, yang memilih untuk tidak meminta-minta, meski badai kekurangan menerpa. Inilah potret ideal yang digariskan, sebuah keseimbangan harmonis antara memberi dan menjaga kehormatan diri.

Namun, di tengah cita-cita luhur ini, seringkali kita dihadapkan pada realitas yang mengikis kemuliaan: mentalitas pengemis. Sebuah mentalitas yang bukan sekadar cerminan kekurangan harta, melainkan sebuah kebiasaan, sebuah pola pikir yang mengakar. Ironisnya, mentalitas ini tak mengenal kasta; bahkan seorang yang bergelimang harta pun bisa terjerat dalam belenggu mental pengemis jika ia terbiasa meminta dan menggantungkan diri pada orang lain. Ini adalah sebuah penyakit hati yang jauh lebih berbahaya daripada kemiskinan materi. Jika mentalitas ini merasuki seorang pemimpin, maka kehormatan dan kedaulatan bangsa akan terancam. Jika ia menjangkiti sebuah bangsa, maka kemuliaan dan harga diri kolektif akan luntur, tergadaikan oleh kebiasaan menengadahkan tangan.

Nabi Muhammad SAW, sang teladan sepanjang masa, telah memberikan sebuah terapi sosial yang amat mendalam untuk mengatasi fenomena ini. Kisah seorang anak muda di Madinah menjadi cermin betapa agungnya kebijaksanaan beliau. Anak muda itu, yang secara fisik sehat dan mampu bekerja, datang kepada Nabi untuk meminta-minta. Namun, alih-alih langsung memberi, Nabi SAW justru mengajarkan sebuah pelajaran berharga tentang kemandirian dan harga diri. Beliau tidak serta-merta menyerahkan sedekah, melainkan mendorongnya untuk berusaha, untuk mengukir nasibnya sendiri.

Dengan penuh hikmah, Nabi melelang barang milik anak muda itu – sebuah selimut dan sebuah cangkir – di hadapan para sahabat. Dari hasil lelang tersebut, terkumpul dua dirham. Satu dirham diberikan kepada anak muda itu untuk membeli makanan bagi keluarganya, dan satu dirham lainnya untuk membeli kampak. Sebuah kampak, bukan uang tunai yang habis dalam sekejap, melainkan sebuah alat, sebuah modal untuk bekerja, untuk menghasilkan. Nabi kemudian berpesan kepadanya agar tidak kembali mengemis selama lima belas hari, melainkan bekerja keras dengan kampak itu di hutan. Sebuah tenggat waktu yang jelas, sebuah tantangan untuk membuktikan diri.

Lima belas hari berlalu. Anak muda itu kembali, bukan dengan tangan hampa, melainkan dengan hasil kerja kerasnya. Wajahnya berseri, bukan karena menerima belas kasihan, melainkan karena merasakan manisnya jerih payah. Ia membawa uang yang lebih banyak, hasil dari kayu bakar yang ia kumpulkan dan jual. Lebih dari sekadar materi, ia kembali dengan harga diri yang terjaga, dengan kemuliaan yang terukir dari keringatnya sendiri. Inilah puncak pendidikan sosial Nabawi: bukan hanya memberi ikan, melainkan mengajarkan cara memancing, bahkan menyediakan kailnya.

Prinsip pendidikan sosial Nabi SAW sungguh luar biasa. Beliau selalu memberikan panduan praktis sebelum nasihat moral. Pendidikan dimulai dari tindakan nyata, dari langkah-langkah konkret yang mengubah perilaku, bukan hanya dari untaian kata-kata. Beliau memahami bahwa perubahan sejati berakar pada pengalaman, pada praktik yang membentuk karakter. Dengan teladan ini, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada umatnya bahwa kemuliaan bukanlah anugerah yang jatuh dari langit, melainkan sebuah perjuangan, sebuah proses yang membutuhkan kerja keras, kemandirian, dan integritas. Sebuah pelajaran abadi untuk mengikis mentalitas pengemis, dan meraih kemuliaan dalam genggaman diri.

Pantang meminta-minta juga menjadi prinsip dasar para sahabat Nabi Saw, termasuk di antaranya adalah seorang sahabat mulia, yaitu Abdurrahman bin Sokhrin ad-Dausi atau kita lebih mengenalnya dengan nama Abu Hurairah ra, yang kelak menjadi tokoh besar di dalam periwayatan hadist bahkan menjadi perawi hadist terbanyak.

Abu Hurairah bercerita, bahwa suatu hari dia ada di dalam Raudhah (di dalam masjid Nabawi) di dalam Raudhah, di samping mimbar Nabi Saw, kemudian tiba-tiba dia pingsan, yang tidak lama kemudian nanti dia sadar lagi, dan dia berkata “orang-orang menduga saya punya penyakit, padahal demi Allah, saya bukan sakit, tetapi saya pingsan ini karena lapar”.

Bisa kita bayangkan penuntut ilmu di zaman itu seperti Abu Hurairah itu sampai pingsan gara-gara lapar, tapi itu tidak membuat Abu Hurairah ra mengemis kepada orang-orang. Dia tidak bicara kalau dia sangat lapar, dia tidak bicara walau dia sangat perlu... sekedar makan untuk menguatkan dirinya.

Maka selain menjaga kemuliaan diri sendiri dari perilaku meminta-minta, Nabi Muhammad Saw juga mengajarkan untuk menjaga kemuliaan anggota keluarga dari perilaku meminta-minta, caranya dengan meninggalkan harta kepada ahli waris. Seperti nasihat Rasulullah Saw ketika menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqash yang sedang sakit keras. Dan pertemuannya dengan Rasulullah dimanfaatkan oleh Sa’ad untuk berkonsultasi.

Sa’ad bercerita tentang hartanya yang banyak kepada Rasulullah, dan karena cintanya kepada islam, maka Sa’ad ingin menginfaqkan 2/3 hartanya di jalan Allah. Tapi kata Nabi “jangan”. “kalau begitu setengah ya Rasulullah”. Kata Nabi “jangan”. Kalau begitu 1/3 ya Rasulullah”. Kata Nabi الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ “boleh kalau 1/3, dan 1/3 itu sudah banyak”. Kemudian Nabi mengatakan إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ “kau tinggalkan ahli waris anak cucumu dalam keadaan berkecukupan lebih baik dibandingkan kalau kau tinggalkan mereka dalam keadaan kekurangan dan mengemis kepada manusia”.

Kebiasaan mengemis dilarang dalam Islam. Dan Rasulullah Saw memberikan pelajaran mahal kepada umatnya melalui Sa’ad bin Abi Waqqash ra untuk berinfaq sebanyak-banyaknya, tapi juga berpikirlah tentang apa yang bisa ditinggalkan untuk generasi setelahnya, agar mereka hidup tidak dalam keadaan bergantung kepada orang lain, tidak berharap pada harta orang lain, atau mengemis kepada orang lain.


Ditulis Oleh Ustadz Matahari Satria, Lc.

(Dosen Akademi Al Fatih)

lanjut baca