Mengapa Nabi ﷺ Dilahirkan dalam Keadaan Yatim?

Artikel Dosen    Siroh Nabawiyah    03 Nov 2025    4 menit baca
Mengapa Nabi ﷺ Dilahirkan dalam Keadaan Yatim?

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

"Dan ini (Keyatiman Nabi ﷺ) adalah puncak keadaan yatim dan derajat tertingginya."

 

Seringkali kondisi Rasulullah ﷺ yang yatim sering dipandang sebagai kisah sedih oleh sebagian umat islam. Namun siapa sangka bahwa hal ini merupakan rancangan Allah Ta’ala untuk mempersiapkan sang Nabi terakhir untuk mengemban risalah-Nya.

Awal Kehidupan Sang Nabi ﷺ Yatim Sebelum Dilahirkan

Dalam beberapa riwayat telah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ terlahir dalam keadaan yatim. Ayah beliau, Abdullah bin Abdul Muththalib, telah wafat saat Nabi masih berada di dalam kandungan ibundanya, Para ulama berbeda pendapat mengenai usia kandungan Aminah saat itu; pendapat yang paling kuat menyebutkan usia kandungan baru berjalan 28 hari, sementara pendapat lain menyebutkan 7 bulan hingga 2 tahun.

Setelah lahir, Rasulullah ﷺ berada dalam asuhan ibunya, Aminah, dan kakeknya, Abdul Muththalib bin Hasyim. Namun, takdir perpisahan kembali menyapanya ketika beliau berusia 6 tahun, Dimana ibunda beliau membawanya ke Madinah untuk mengunjungi paman-paman dari pihak keluarga ayahnya, Bani 'Adiy bin Najjar. Dan dalam perjalanan pulang menuju Makkah, Aminah jatuh sakit dan wafat di sebuah tempat bernama Al-Abwa’. Sejak saat itu, Muhammad ﷺ menjadi yatim piatu, kehilangan kedua sosok orang tua di usia yang masih sangat belia.

Mengapa Allah Ta'ala Takdirkan Nabi-Nya Sebagai Seorang Anak Yatim?

Ada beberapa hikmah pelajaran yang disampaikan oleh para ulama dibalik keyatiman Nabi ﷺ, diantaranya:

  1. Pengasuhan di Bawah Pengawasan Allah Ta’ala

Sudah menjadi kehendak Allah agar Nabi Muhammad ﷺ tumbuh tanpa campur tangan manusia dalam pengasuhan dan pengarahannya. Dengan tidak adanya sosok seorang ayah, maka adat, atau tradisi jahiliyah tidak akan ada yang dapat memengaruhi pemikiran dan karakternya. Karenanya bisa dikatakan bahwa Allah lah yang menjadi pendidik dan pengasuh beliau. Hal ini sebagaimana dengan firman Allah kepada Nabi Musa ‘Alaihis Salam:

﴿ وَلِتُصْنَعَ عَلٰى عَيْنِيْ ۘ ﴾ ( طٰهٰ: 39)

Artinya: “Agar engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS Thaha: 39)

Dan juga firman-Nya:

﴿ وَاصْطَنَعْتُكَ لِنَفْسِيْۚ ﴾ ( طٰهٰ: 41)

Artinya: “Aku telah memilihmu (menjadi rasul) untuk-Ku.” (QS Thaha: 41)

Dalam kitab tafsir al Bahru al Muhits, Abu Hayyan menyebutkan sebuah riwayat dari Ja’far Ash-Shadiq yang pernah ditanya: “Kenapa Nabi ﷺ dijadikan seorang yatim piatu?” Beliau pun menjaawab: 

لِئَلَّايَكُونَعَلَيْهِحَقٌّلِمَخْلُوقٍ

Artinya: "Sungguh Rasulullah ﷺ menjadi yatim, agar tidak ada makhluk yang dianggap memiliki jasa atas beliau." 

Dengan kata lain, kemuliaan beliau murni datang dari Allah, bukan karena warisan atau didikan seorang ayah.

  1. Perkara yang Mulia Bermula dari yang Sederhana

Tidak hanya agar Nabi Muhammad ﷺ tumbuh di bawah pengawasan Allah Ta’ala, tetapi juga karena inilah sunnatullah yang ada pada segala hal yang mulia. Perkara yang mulia bermula dari yang sederhana seperti halnya Nabi yang Allah Ta’ala didik dalam keadaan yatim.

Ibnu al ‘Imad sebagaimana dalam kitab Subul al Huda wa ar Rasyad fii Sirah Khairi al ‘Ibad karya ash Shalihy asy Syamy pernah mengatakan:

إنما ربّاه يتيماً لأن ‌أساسكلّكبيرصغير وعقبى كلّ خطير حقير

Artinya: “Sesungguhnya Allah mendidik beliau (Nabi ﷺ) dalam keadaan yatim; sebab segala yang agung bermula dari yang sederhana, dan setiap yang mulia pernah melalui jalan yang hina.”

  1. Menumbuhkan Kepekaan Sosial di Tengah Umatnya

Tidak hanya itu, menjadi seorang yatim sejak di kandungan membuat Nabi ﷺ merasakan langsung makna kehilangan atau kesulitan hidup. Dan kondisi hidup yang seperti ini akan menjadikan beliau lebih lebih peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan seperti rasa kasih dan empati terhadap anak yatim, fakir miskin, dan orang-orang yang tertindas.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Musthafa as Siba’i dalam kitabnya, as Sirah an Nabawiyyah -Durus wa ‘Ibar-: ketika menjelaskan salah satu hikmah pelajaran dari kondisi Nabi ﷺ sebelum beliau diutus yang dapat menjadi motivasi bagi para juru dakwah. Beliau mengatakan:

أن في تحمل الداعية آلام اليتم أو العيش، وهو في صغره ما يجعله أكثر إحساسا بالمعاني الإنسانية النبيلة، وامتلاءً بالعواطف الرحيمة نحو اليتامى أو الفقراء أو المعذبين، وأكثر عملا لإنصاف هذه الفئات والبر بها والرحمة لها، 

Artinya: “Bahwa dalam penderitaan seorang juru dakwah, seperti merasakan yatim atau kesulitan hidup sejak kecil, akan menjadikannya lebih peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang mulia, serta dipenuhi rasa kasih dan empati terhadap anak yatim, fakir miskin, dan orang-orang yang tertindas. Ia pun akan lebih terdorong untuk memperjuangkan keadilan bagi golongan ini, berbuat baik kepada mereka, dan mengasihi mereka.”

Beliau juga menjelaskan

وكل داعية يحتاج لأن يكون لديه رصيد كبير من العواطف الإنسانية النبيلة التي تجعله يشعر بآلام الضعفاء والبائسين، ولا يوفر له هذا الرصيدَ شيءٌ مثلُ أن يعاني في حياته بعض ما يعانيه أولئك المستضعفون كاليتامى والفقراء والمساكين

Artinya: “Setiap juru dakwah memerlukan bekal besar berupa empati dan rasa kemanusiaan, agar dapat merasakan penderitaan kaum lemah dan papa. Dan tidak ada yang mampu membentuk bekal ini seperti pengalaman hidup yang langsung merasakan penderitaan yang dialami oleh para mustadh’afin seperti yatim, miskin, dan kaum tertindas lainnya.”

Dalam artian seseorang yang tidak pernah merasakan kemiskinan tidak akan pernah benar-benar memahami derita kaum miskin. Dan Allah Ta’ala mempersiapkan Rasul-Nya dengan kehidupan yang nyata, sebagai bekal untuk memahami dan membimbing umatnya kelak.

Dari sini, kita bisa mengambil sebuah ibrah (pelajaran) bahwa status yatim bukanlah penghalang untuk meraih derajat tinggi. Kemuliaan, kehormatan, dan kebesaran tidak terikat pada status sosial atau keluarga. 

Justru, sering kali Allah Ta’ala mengangkat derajat seseorang dari kondisi yang tampak lemah di mata manusia. Ketika Nabi ﷺ mencapai puncak kemuliaan, umat islam menyaksikan bahwa kemuliaan itu bukanlah berasal dari ayah, ibu, atau harta, melainkan dari Allah Ta’ala.

Ditulis Oleh: Ustadz Shalahuddin Al Ayyubi, Lc.
(Dosen Akademi Al Fatih)






lanjut baca