“Aku adalah rumahmu, Ayah. Saksi bisu langkah-langkah gagahmu setiap kali azan memanggil. Aku melihatmu bergegas, merapikan pakaian, menorehkan wangi, lalu melangkah keluar dengan semangat menuju masjid. Aku bangga padamu. Sungguh. Tapi izinkan aku mengaku… Ada yang cemburu pada masjidmu.”
Kecemburuan ini lahir dari sudut yang sepi. Dari sajadah yang jarang tergelar. Dari dinding-dinding yang merindukan gema dzikir. Bukankah Rasulullah ﷺ berpesan agar rumah juga diberi bagian dari shalat kita? Beliau bersabda:
إِذَا قَضَى أحَدُكُمْ صَلاَتَهُ فِي مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيباً مِنْ صَلاَتِهِ؛
فَإنَّ اللهَ جَاعِلٌ في بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ خَيْراً.
“Jika salah seorang dari kalian telah menunaikan shalat di masjid, maka jadikanlah rumahnya bagian dari shalatnya. Sebab Allah menjadikan kebaikan di rumahnya melalui shalatnya.” (HR. Muslim no. 778)
Shalat memang pilar kehidupan seorang muslim. Ia wajib dijaga, ditunaikan dengan rukun dan sunnahnya, serta dilengkapi dengan shalat-shalat sunnah sebagai penyempurna. Namun, dalam hadits ini Nabi ﷺ memberi isyarat lebih: jangan biarkan rumah kita kering dari shalat. Sebab, shalat sunnah di rumah menyimpan banyak rahasia kebaikan. Imam Nawawi dalam kitab al-Minhaj Syarh Shahih Muslim menjelaskan di antara kebaikan shalat sunnah di rumah ialah:
1. Lebih tersembunyi dan jauh dari riya’
2. Supaya rumah tersebut mendapatkan keberkahan,
3. Diturunkannya rahmat dan malaikat ke dalamnya, serta
4. Dijauhkan setan darinya.
Tapi ada yang lebih besar dari semua itu: keteladanan.
Generasi kita haus akan teladan. Islam yang agung ini lahir bukan dari mimbar-mimbar megah, melainkan dari rumah-rumah yang menyalakan cahaya ibadah. Rumah adalah madrasah pertama, tempat anak-anak menyalin laku orang tuanya. Dan sungguh, manusia lebih mudah meniru apa yang mereka lihat ketimbang apa yang mereka dengar.
Al-Qur’an pun dipenuhi kisah-kisah, bukan sekadar cerita, melainkan jejak hidup untuk diteladani. Dan puncak teladan itu adalah Rasulullah ﷺ yang ajarannya bukan hanya kata-kata, melainkan hidup yang ditransformasikan menjadi cahaya.
Wahai Ayah… setiap gerakmu adalah cermin. Setiap langkahmu direkam mata anak-anakmu. Maka jangan heran bila nasihat yang paling dalam bukan keluar dari lisanmu, melainkan dari gerak tubuhmu. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ.
“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)
Salah satu bentuk paling nyata dari “menunjukkan kebaikan” adalah keteladanan. Ia lebih tajam daripada petuah, lebih kuat daripada seruan. Anak-anakmu tidak hanya mendengar, mereka melihat, lalu menyalin. Karena itu, Utbah bin Abi Sufyan pernah berkata kepada Abdus Shamad guru anak-anaknya:
"Hendaklah awal dari usahamu dalam memperbaiki anak-anakku adalah memperbaiki dirimu sendiri. Sebab pandangan mereka terikat pada pandanganmu. Apa yang engkau anggap baik, mereka pun akan menganggap baik. Apa yang engkau pandang buruk, mereka pun akan memandangnya buruk."
Maka, Ayah… keteladanan itu tidak perlu selalu hadir di hadapan orang banyak. Justru ia paling berharga ketika hadir di ruang-ruang kecil yang sepi, di rumahmu sendiri. Setelah engkau kembali dari masjid dengan langkah gagah, jangan terburu melipat bajumu. Sisakan sedikit waktumu. Gelarlah sajadah di sudut rumah yang paling kau suka. Biarkan dua rakaat sunnahmu menjadi hadiah terindah bagi rumah yang tengah cemburu ini.
Sebab, Ayah… satu rakaat di rumahmu akan menjadi ribuan jejak yang tak pernah padam di hati anakmu.
Barakallahufiikum
Ditulis Oleh Ustadz Harun Thoha, Lc.