Beberapa artikel sebelumnya kita sudah membahas kedudukan ahli ilmu dan akibat bila tidak memuliakan mereka. InsyaAllah di artikel kali ini kita akan membahas tentang kenikmatan di antara nikmat-nikmat Allah kepada kita, yakni berdekatan dengan ahli ilmu.
Kita akan membahas seseorang yang namanya bahkan Al-Qur’an saja tidak menyebut namanya secara langsung. Kita akan membahas kisah seorang penuntut ilmu dan keberhasilannya. Kisah ini dijelaskan oleh Al-Qur’an. Awal mula karirnya dimulai dari Surah Al-Kahf. Kisah panjang yang sarat akan inspirasi dan siraman ruhani tentang Nabi Musa dan Nabi Khidhr. Awal mula Nabi Musa berjalan sampai bertemu dengan Nabi Khidhr dimulai dari ayat 60. Al-Qur’an menyebutkan :
وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ لَاۤ أَبۡرَحُ حَتَّىٰۤ أَبۡلُغَ مَجۡمَعَ ٱلۡبَحۡرَیۡنِ أَوۡ أَمۡضِیَ حُقُباً
Ketika Musa berkata kepada budaknya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.”
Ayat di atas menunjukkan Nabi Musa memulai perjalanannya dalam menuntut ilmu tidak sendirian dan diikuti oleh seorang budak. Budak itu bernama Yusya’ ibn Nun. Dalam kitab Al-Mustafaad min Qashashil Qur’an, disebutkan bahwa kalimat لِفَتَىٰهُ itu mempunyai arti budak. Mari kita dalami perlahan firman yang mulia ini. Sungguh kerena permulaan inilah Yusya’ bisa mendapatkan kejayaan yang besar. Penulis kitab tersebut yakni Dr. Abdul Karim Zaidan beliau menyebutkan, “الفتى dalam Bahasa Arab artinya pemuda, mengingat kebanyakan hamba sahaya/budak biasanya dari kalangan pemuda. Maka hamba sahaya/budak disebut الفتى dalam rangka kesopanan, sekalipun budak tersebut sudah tua. Syariat kita yang mulia menganjurkan hal ini. Sebagaimana dalam hadits disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ولا يقُلْ أحدُكُمْ عبدي أمِتي وليقلْ فتايِ وفتاتي
Janganlah seseorang diantara kalian mengatakan (kepada budaknya), hambaku (laki-laki) atau hambaku (perempuan). Tetapi katakanlah pemudaku (laki-laki) atau pemudaku (perempuan) (HR. Al-Bukhari). -Selesai nukilan dari kitab tersebut-
Pada ayat di atas setidaknya kita mendapatkan 2 hal yang amat mahal.
-
Dalam kalimat الفتى yang berarti hamba sahaya mengandung makna عبدٌ. Adapun عبدٌ dalam Al-Qur’an digunakan untuk peribadatan kita kepada Allah saja. Maka tidak boleh seseorang menisbatkan dirinya sebagai عبدٌ kepada selain Allah. Maka keluarlah hadits Nabi tadi.
-
Dalam ayat tersebut seakan Allah ingin mengabarkan kepada kita bahwa Aku tidak memanggil Yusya’ dengan عبدٌ yang artinya sama dengan الفتى yakni hamba sahaya, karena Aku ingin mengangkat derajat seseorang yang pergi dalam rangka membersamai dan berkhidmat kepada ahli ilmu. Ya karena begitulah Yusya’ membersamai Nabi Musa
Diketahuilah dari 2 poin di atas bahwa seakan Al-Qur’an mengajarkan bahwa seharusnya penuntut ilmu layaknya budak bagi ahli ilmu. Kita ketahui bersama, bahwa berkhidmat kepada ahli ilmu bukanlah perkara mudah. Butuh stok kesabaran yang besar karena bahkan dalam Surah Al-Kahf : 28 Allah perintahkan untuk bersabar. Tapi ketahuilah, sabar, rela, rido serta ikhlas mengabdi kepada mereka adalah jalan yang sangat mulia. Dan ternyata Allah telah memberikan kenikmatan pertama bahkan sejak ketika kita dekat dengan ahli ilmu dan mau berkhidmat kepada mereka. Ya, kenikmatan itu adalah berupa rasa hormat yang Allah berikan kepada penuntut ilmu yang mau dekat dan berkhidmat kepada ahli ilmu.
Jadi tenanglah wahai saudaraku! Dirimu takkan Allah hinakan selama dirimu tulus membersamai dan berkhidmat kepada Ahli Ilmu.
Para Pembaca yang budiman tidak hanya itu. ternyata kenikmatan yang kedua Yusya’ Allah angkat menjadi Nabi. Dan kenikmatan yang ketiga Yusya’ bahkan mampu berhasil memasuki Baitul Maqdis untuk mengusir penduduknya atas perintah Allah. Padahal, perintah Allah untuk melaksanakan jihad memasuki Baitul Maqdis adalah perintah yang turun bukan saat Yusya’ diangkat menjadi Nabi. Tapi bahkan ia turun pada zaman Nabi Musa. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Maidah : 20 – 26. Tapi ternyata, syariat itu belum bisa dijalankan oleh Musa karena pembangkangan yang dahsyat dari Bani Israil. Setelah itu Allah ganti generasi pembangkang itu dengan generasi yang lebih baik dari mereka. Ya generasi yang dipimpin oleh Sang Murid Nabi Musa, Yusya’ ibn Nun.
Yusya’ ibn Nun ternyata berhasil memasuki Baitul Maqdis yang tidak bisa dilakukan oleh gurunya. Ketahuilah, kebesaran kita dihari kelak akan jauh melampaui guru-guru kita asalkan kita mau, ridho, ikhlash dalam mengabdi untuk guru-guru kita. Sebagaimana Yusya’ diizinkan Allah mampu melampaui keberhasilan Nabi Musa gurunya. Inilah 3 keberhasilan yang layak Allah berikan kepada seorang murid yang tulus, ridho, dan iklash mengabdi kepada gurunya.
Maka adakah jalan kenikmatan yang lebih nikmat dibanding baktinya seorang penuntut ilmu kepada ahli ilmu?