SYUBHAT PERILAKU BERTANYA

Artikel Dosen    24 Nov 2023    3 menit baca
SYUBHAT PERILAKU BERTANYA

Pernah mendengar sebuah pernyataan, “Tanya terus kayak Bani Israil saja!”?

Bagi muslim kalimat ini terkesan negatif dan kurang baik. Menyamakan seseorang dengan Bani Israil, kaum yang sering sekali berbuat buruk.

Bertanya adalah hal yang wajar. Bertanya adalah perbuatan yang tidak akan lepas dari setiap makhluk yang Allah ciptakan kepadanya akal.

Dalam pendidikan misalnya, aktivitas bertanya adalah sesuatu yang harus ada, antara guru dan murid atau sebaliknya. Menurut sebuah penelitian juga disebutkan bahwa banyak tanya adalah satu di antara tanda cerdasnya seseorang.

Lantas bagaimana dengan Islam? Apa pendapat Islam terkait aktivitas ini?

Dalam Islam bertanya adalah perbuatan yang bahkan secara langsung diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Dalam Al-Quran surat an-Nahl ayat 43 Allah Azza wa Jalla berfirman:

﴿ ... فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ ٤٣ ﴾ ( النحل/16: 43)

Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (An-Nahl/16:43)

Dalam sebuah hadits juga disebutkan bagaimana marahnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tatkala mendengar seorang sahabat yang terbunuh dikarenakan tidak bertanya dahulu, beliau shallallahu alaihi wa sallam mengatakan:

أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ

Tidakkah mereka bertanya jika tidak mengetahui? Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya”. (H.R. Abu Dawud No. 336)

Maka jelas sekali bahwa bertanya adalah hal yang baik dan terpuji. Bertanya adalah perilaku mulia yang disyariatkan oleh agama kita.

Bagaimana dengan ayat ke-101 dalam surat al-Maidah yang secara langsung melarang aktivitas bertanya? 

﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَسْـَٔلُوْا عَنْ اَشْيَاۤءَ اِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ ۚ... ١٠١ ﴾ ( الماۤئدة/5: 101)

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu (niscaya) menyusahkan kamu... (Al-Ma'idah/5:101)

Dalam sebuah hadits juga disebutkan bagaimana hancurnya sebuah kaum dikarenakan pertanyaan-pertanyaan mereka.

Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena banyak bertanya dan berselisih dengan para nabi”. (H.R. Muslim No.130)

Imam al-Baghawi dalam kitab tafsirnya menjelaskan sebab turunnya ayat ke-101 surat al-Maidah ini adalah tatkala ayat mengenai perintah haji turun, muncul seseorang yang bertanya perihal berapa kali ibadah tersebut dilakukan.

Tatkala seseorang tersebut tetap mengulang pertanyaannya sampai 3 kali, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan tegas menyampaikan agar apa yang beliau sampaikan dilaksanakan semampunya. Apa yang beliau perintahkan hendaknya tidak ditanyakan detailnya; karena jika hal itu direspon dan dijawab oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan bisa menjadikan umat semakin susah melaksanakan perintah.

Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena banyak bertanya dan berselisih dengan para nabi”.

Jawaban Nabi di atas sangat jelas, sebab beliau tidak memberi respon dari pertanyaan tersebut adalah adanya kekhawatiran akan bertambahnya hukum dan ketentuan ibadah yang bisa saja membuat kaum muslimin semakin sulit dalam melaksanakannya.

Imam Fakhruddin ar-Razi juga menjelaskan perihal ayat di atas.

اعْلَمْ أنَّ السُّؤالَ عَنِ الأشْياءِ رُبَّما يُؤَدِّي إلى ظُهُورِ أحْوالٍ مَكْتُومَةٍ يُكْرَهُ ظُهُورُها ورُبَّما تَرَتَّبَتْ عَلَيْهِ تَكالِيفُ شاقَّةٌ صَعْبَةٌ، فالأوْلى بِالعاقِلِ أنْ يَسْكُتَ عَمّا لا تَكْلِيفَ عَلَيْهِ فِيهِ

Ketahuilah bahwa bertanya tentang sesuatu terkadang dapat memunculkan hal-hal tersembunyi yang jika nampak ia akan tidak disukai dan memungkinkan beban syariat semakin berat dan menyulitkan, maka yang lebih utama bagi orang yang berakal adalah diam atas apa yang tidak dibebankan padanya

Jelaslah penjelasan di atas bahwa pertanyaan yang dilarang dalam syariat kita adalah pertanyaan yang dikhawatirkan bisa membuat syariat menjadi lebih menyulitkan. Detail penjelasan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan menambah beban umat dalam melaksanakan syariat karena keumuman perintah akan hilang jika beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawabnya.

 Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Matan al-Arbain an-Nawawi Fi al-Ahadits as-Shahihah an-Nabawiyah menjelaskan secara detail perihal bertanya.

اعلم أن السؤال على أقسام: القسم الأول: سؤال الجاهل عن فرائض الدين كالوضوء والصلاة والصوم وعن أحكام المعاملة ونحو ذلك وهذا السؤال واجب وعليه ..... ولا يسع الإنسان السكوت عن ذلك... القسم الثاني: السؤال عن التفقه في الدين لا للعمل وحده مثل القضاء والفتوى، وهذا فرض كفاية..... القسم الثالث: أن يسأل عن شيء لم يوجبه الله عليه ولا على غيره وعلى هذا حمل الحديث لأنه قد يكون في السؤال ترتب مشقة بسبب تكاليف يحصل....

Ketahuilah bahwa bertanya ada beberapa macam; pertama: pertanyaan seorang jahil (tidak tahu) perihal hal yang fardhu dalam agama, seperti wudhu, shalat, puasa, hukum dalam bermuamalah dan selainnya, hukumnya wajib …seseorang tidak boleh diam dalam hal ini… kedua: bertanya untuk bertafaqquh (memperdalam) agama bukan hanya diamalkan untuk dirinya saja, seperti qadha’ (peradilan) dan fatwa, hukumnya fardhu kifayah… ketiga: bertanya tentang sesuatu yang belum Allah wajibkan kepadanya dan kepada selainnya maka inilah yang dimaksud hadits ini (larangan bertanya) karena terkadang pertanyaan tersebut dapat menimbulkan kesulitan karena akibat taklif (beban keharusan) yang diperoleh…

Maka semakin jelaslah bahwa bertanya bukanlah sebuah keburukan, bertanya dengan tujuan belajar merupakan anjuran dalam syariat kita. Selama apa yang kita tanyakan bukanlah sesuatu yang akan memberatkan dan mempersulit yang lainnya. Apa yang kita tanyakan bukan untuk menguji kecerdasan seseorang, bukan untuk merendahkan dan bukan untuk tujuan-tujuan buruk lainnya maka bertanya adalah sebuah kebaikan yang senantiasa harus disemai khususnya bagi mereka yang berada dalam dunia pendidikan.

Lantas sebagai seorang muslim jika muncul kalimat celaan pada orang yang bertanya (seperti kalimat di awal tulisan ini) kira-kira bagaimana sikap terbaik yang seharusnya dilakukan?

 

Wallahu Ta’ala A’lam

lanjut baca