Dakwah Rasulullah Muhammad ﷺ merupakan dakwah yang membawa perubahan luar biasa bagi bangsa Arab, bahkan dunia. Dalam waktu yang sangat singkat, bangsa Arab yang diselimuti oleh kejahiliyahan dan sama sekali tidak memiliki posisi di kancah peradaban, tiba-tiba menjadi bangsa yang memimpin dunia dan menjadi guru yang membimbing bangsa lainnya menuju peradaban mulia. Siapapun yang merenungi perubahannya yang luar biasa tersebut, pasti akan merasa takjub. Seorang orientalis Inggris, William Montgomery Watt, ketika mengungkapkan ketakjubannya berkata, “Logika pikir kita benar-benar tidak akan mampu menyibak rahasia besar dibalik perubahan yang sangat mengagumkan. Seperti apa sejatinya proses peralihan peradaban Timur Tengah klasik kepada peradaban Islam? Sungguh, merupakan perubahan sangat mengagumkan yang tiada tandingannya.[1]
Perubahan yang dipelopori oleh Rasulullah ﷺ melalui dakwahnya, merupakan perubahan yang dibangun di atas pondasi pendidikan. Dimana salah satu kunci keberhasilan pendidikan yang Rasulullah ﷺ lakukan adalah dengan sangat memperhatikan urutan dan tahapan. Upaya tersebut dilakukan dengan bimbingan Allah atas hati dan akal Rasulullah ﷺ, serta didukung oleh kebertahapan ayat-ayat yang Allah turunkan. Hal ini bisa terbaca dengan jelas dari keterangan Sayyidah ‘Aisyah ketika menjelaskan tentang gambaran tema besar urutan surat yang Allah turunkan dan hikmahnya, Sayyidah ‘Aisyah berkata;
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dimana surat-surat yang ada di dalamnya menyebutkan tentang surga dan neraka, hingga manakala manusia telah kokoh Islamnya, maka diturunkan masalah halal dan haram. Maka andaikata yang turun pertama kali adalah: Janganlah kalian minum-minuman keras, janganlah kalian berzina, pastilah mereka akan mengatakan: ‘Kami sekali-kali tidak akan meninggalkan minuman keras dan zina!’.”[2]
Penjelasan Sayyidah ‘Aisyah tersebut merupakan sebuah petunjuk akan pentingnya tindakan gradual (berangsur-angsur; sedikit demi sedikit), dimana hal tersebut bagian dari sunnatullah yang berlaku atas makhluk-Nya. Sunnatullah (As-Sunnah Ar-Rabbaniyah) disini maksudnya adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang tetap dan berlaku di alam semesta ini bagi seluruh manusia, di setiap ruang dan waktu.[3] Karena itu, tindakan gradual menjadi prinsip dasar Rasulullah ﷺ dalam mendidik umatnya, baik itu dalam pengertian yang umum ataupun khusus.
Sunnah Gradual, Manhaj Allah di Alam Semesta dan Dalam Mendidik Rasul-Nya
Penciptaan langit dan bumi selama enam hari, padahal Allah mampu untuk menciptakannya hanya dalam sekejap, menegaskan bahwa Allah menetapkan sunnah gradual ini berlaku pada segala hal, termasuk alam semesta ini. Demikian juga dengan perkembangan penciptaan manusia, hewan, serta tumbuhan; semuanya tercipta melalui proses fase perfase hingga mencapai pertumbuhannya, kesempuranaan dan matangnya, sesuai dengan sunnah Allah yang Mahabijak.[4]
Begitu juga Ketika Allah memilih Rasul-Nya, Allah mempersiapkan Rasulullah ﷺ secara bertahap sesuai fase perkembangan usianya, melalui ketetapan, kejadian, serta pengalaman yang Allah kehendaki atas beliau. Mulai dari Allah pilihkan nasab terbaik, ditakdirkan sebagai seorang yatim, dibesarkan di gurun oleh keluarga Halimah, kembali ke pangkuan sang bunda di usia empat tahun, dan merasakan kesedihan demi kesedihan ketika sang bunda dan sang kakek meninggal dunia. Semuanya perlahan terobati ketika pengasuhan dilanjutkan oleh sang paman yang mencurahkan kasih dan sayangnya.
Pengalaman demi pengalaman yang Rasulullah ﷺ alami, mulai dari hidup di gurun yang keras, pembelahan dada oleh malaikat-Nya, menggembala kambing, perlindungan Allah dari berbagai keburukan, mengikuti perang Fijar, berpartisipasi dalam Hilful Fudhul, mulai berdagang, hingga akhirnya menikah dengan Khadijah, dan mendapatkan kemuliaan karena menjadi jalan solusi atas permasalahan di ujung pemugaran Ka’bah.[5] Semuanya merupakan bagian dari cara Allah mendidik dan mempersiapkan Rasulnya. Pilihan-Nya tidak jatuh pada sembarang orang, yang tiba-tiba secara ajaib menjadi baik akhlaknya, cerdas akalnya, dalam ilmunya, mulia di tengah kaumnya, amanah orangnya, dan cakap kepemimpinannya.
Kebertahapan Rasulullah Dalam Mendidik Umatnya Menjalankan Syariat
Sunnah Gradual atau kebertahapan yang Rasulullah pahami dari alam raya, serta kehidupan ini, dan juga dari Al-Quran yang kemudian turun secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun; tiga belas tahun di Makkah dan sepuluh tahun di Madinah. Secara tidak langsung membuat kebertahapan menjadi suatu prinsip yang selalu Rasulullah pegang. Al-Qur’an menjadi modal utama Rasulullah dalam berdakwah, sekaligus merupakan sumber kurikulum pendidikan yang beliau ajarkan, termasuk dalam hal mendidik umatnya untuk menjalankan syariat Islam. Turunnya Al-Qur’an secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang turun sebelumnya, sangat mengejutkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya.[6]
Dalam menegakkan semua syariat Islam, Allah membimbing Rasul-Nya untuk tidak terburu-buru membebankan syariat tersebut kepada umatnya. Semua syariat disempurnakan secara bertahap; syariat shalat, prinsip mengenai zakat yang mengiringi masalah riba, pokok-pokok hukum perdata, dasar-dasar masalah kekeluargaan, soal zina dan khamr, semuanya sudah turun di Makkah. Namun, baru disempurnakan di Madinah.[7]
Diantara contoh kebertahapan Rasulullah ﷺ mendidik umatnya untuk menjalankan syariat adalah dalam masalah jihad, dimana hal tersebut termasuk aktivitas penting dakwah yang harus tunduk pada satu perencanaan yang matang dan akurat: tercakup didalamnya unsur penahapan, elastisitas (kelenturan) dan realitas, demi mencapai tujuan utamanya, yaitu menegakkan agama Allah di muka bumi. Tahap pertama yang Rasulullah ﷺ didikkan kepada para sahabatnya adalah tahap persiapan: tahap penyiapan jiwa (mental), menghindari konfrontasi dengan kaum musyrik, menjauhi mereka dan bersabar atas penganiayaan mereka, dengan tetap menjalankan dakwah kepada agama yang haq.[8]
Setelah tahap persiapan, yang secara umum menjadi karakter utama perjalanan dakwah periode Makkah, pada awal hijrahnya muslimin ke Madinah, Rasulullah ﷺ mulai mendidik para sahabatnya dengan tahapan kedua. Tahap ini ditandai dengan diperbolehkannya memerangi musuh (belum diwajibkan), dan hanya berlaku untuk membela diri. Beberapa waktu kemudian, masuk ke tahapan ketiga, dimana kaum muslimin berkewajiban memerangi siapa saja yang memerangi mereka. Dan terakhir, pada tahapan keempat, barulah turun kewajiban memerangi seluruh kaum kafir dari berbagai agama, baik mereka mendahului peperangan itu ataupun tidak.[9]
Andai syariat dan hukum-hukum yang disempurnakan di fase Madinah sudah diturunkan di fase Makkah, maka yang terjadi adalah penolakan. Sebagaimana yang dikatakan Sayyidah ‘Aisyah, “Kami sekali-kali tidak akan meninggalkan minuman keras dan zina!”. Karena itu, siapa saja yang tergesa-gesa dalam memetik hasil, maka mudharatnya akan lebih banyak daripada manfaatnya.
Kebertahapan dalam Praktek Pendidikan Rasulullah ﷺ
Kebertahapan menjadi prinsip dasar pendidikan Rasulullah ﷺ, sebab hal tersebut merupakan bagian dari sunnah yang Allah tetapkan akan terus berlaku di dunia ini bagi setiap perubahan. Bila kebertahapan dalam perubahan ini tidak dilalui, atau dilakukan dalam sekali waktu, maka akan muncul ketidak seimbangan pada hal yang berubah tersebut, dan membuatnya hilang kembali dalam sekali waktu.
Dalam prakteknya di lapangan, ketika Rasulullah ﷺ mendidik para sahabatnya, kebertahapan ini tidak pernah lepas dari prinsip pendidikan Rasulullah ﷺ; beliau selalu memprioritaskan hal yang paling penting dari yang penting, mengajari sedikit demi sedikit, dan poin demi poin, supaya lebih mudah diterima akal dan lebih merasuk ke dalam hati, baik secara hafalan maupun pemahaman. Rasulullah ﷺ paham betul bahwa menuntut masyarakat memahami seluruh ajaran syariat dalam sekali waktu, pastilah menyebabkan mereka pergi menjauh. Begitupula mengajarkan beberapa ilmu sekaligus dalam sekali waktu, pastilah akan membuat para murid kabur.[10]
Kebertahapan Pendidikan Dari Sisi Prioritas Nilai yang Diajarkan
Bicara prioritas sasaran yang Rasulullah ﷺ bidik pada objek didiknya, di awal beliau tidak terfokus pada penyampaian ilmu, tapi lebih menyasar kepada perubahan dan perbaikan jiwa atau keimanan. Karena itu, ketika Jundub bin Abdullah mengisahkan pengalamannya belajar kepada Rasulullah ﷺ bersama teman-teman sebayanya, saat menginjak usia akil balig, Jundub berkata, “Dari beliau, kami mempelajari iman terlebih dahulu sebelum belajar Al-Qur’an. Sehingga ketika kami mempelajari Al-Qur’an, bertambah tebal lah iman kami.”[11]
Hal ini selaras dengan apa yang Sayyidah ‘Aisyah sampaikan, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dimana surat-surat yang ada di dalamnya menyebutkan tentang surga dan neraka, hingga manakala manusia telah kokoh Islamnya, maka diturunkan masalah halal dan haram. Maka andaikata yang turun pertama kali adalah: Janganlah kalian minum-minuman keras, janganlah kalian berzina, pastilah mereka akan mengatakan: ‘Kami sekali-kali tidak akan meninggalkan minuman keras dan zina!’.”[12]
Melalui penyampaiannya Sayyidah ‘Aisyah diketahui bahwa yang dipelajari masih Al-Qur’an, hanya saja surat yang membahas tentang keimanan, seperti iman kepada surga dan neraka, didahulukan daripada surat yang berisi tentang beban-beban syariat, seperti larangan berzina dan meminum khamr. Ilmu tidak didahulukan daripada keimanan karena ilmu menuntut adanya pengamalan, dan pengamalan hanya bisa dilakukan ketika sudah tertancap kuat keimanan. Karena itu, Rasulullah ﷺ memprioritaskan perubahan dan perbaikan pada jiwa (keimanan) para sahabatnya, sebab perubahan hanya akan berhasil jika masyarakat memulai perubahan terhadap apa yang ada pada diri mereka sendiri. Ketika mereka mampu melakukan perubahan pendidikan dan pemikiran dengan baik, maka akan disusul dengan perubahan efektif dalam bidang-bidang lain.[13] Hal ini sesuai dengan panduan yang Allah berikan dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah (keadaan) yang ada pada suatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”[14]
Kebertahapan Pendidikan Dari Sisi Materi Yang Diajarkan dan Metode Yang Digunakan
Berdasarkan penjelasan dari Jundub dan Sayyidah ‘Aisyah, tahapan materi yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ adalah mengacu pada pengelompokkan surat Makkiyah dan Madaniyah, dimana kedua kelompok surat tersebut memiliki kekhasannya masing-masing. Dalam bukunya Mabahits Fi Ulumul Quran, Syaikh Manna Al-Qaththan memaparkan karakteristiknya sebagai berikut[15]:
Karakteristik surat Makkiyah dari segi tema dan gaya bahasa:
-
Dakwah kepada tauhid, beribadah hanya kepada Allah, dan tema-tema keimanan.
-
Peletakkan dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak yang mulia, yang dijadikan dasar terbentuknya suatu masyarakat.
-
Menyebutkan kisah para Nabi dan umat terdahulu.
-
Kalimatnya singkat padat disertai kata-kata yang mengesankan.
Karakteristik surat Madaniyah dari segi tema dan gaya bahasa:
-
Menjelaskan masalah ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, kaidah hukum, dan masalah perundang-undangan.
-
Seruan dakwah terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani.
-
Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan tujuan dan syariatnya.
-
Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan syariatnya.
Perbedaan karakteristik surat Makkiyah dan Madaniyah, memberikan pelajaran untuk urutan kurikulum dalam mendidik masyarakat. Kalau dilihat, maka ayat-ayat Makkiyah lebih banyak membangun pondasi dan tidak memberi beban. Materi pembelajaran yang di ajarkan Rasulullah ﷺ di Makkah, lebih banyak menanamkan akidah yang benar di dalam hati para sahabat, juga tentang tauhid dan bagian-bagiannya, tentang Rasulullah ﷺ dan risalahnya, memperbaiki akidah mereka yang berhubungan dengan rukun iman, serta cara pandang tentang hakikat manusia, alam semesta, kehidupan dan makhluk lainnya. Kalaupun ada beban syariat yang di turunkan di Makkah, maka itu tidak banyak dan memang menopang pembangunan pondasi. Setelah pondasi kuat, barulah beralih ke pemberian beban, dengan mengajarkan ilmu halal haram dan hukum-hukum syariat secara lebih rinci dan menyeluruh.[16]
Selain itu perbedaan karakteristik surat Makkiyah dan Madaniyah juga memberikan pelajaran untuk tahapan metode pengajaran yang digunakan. Karakteristik surat Makkiyah yang kalimatnya singkat padat disertai kata-kata yang mengesankan, mengisyaratkan bahwa di awal pembelajaran, metode yang perlu digunakan pada orang yang baru belajar adalah dengan mengajarkan sedikit ilmu, tapi sering dan menggunakan bahasa yang menyentuh hati. Setelah kokoh imannya, dalam ilmunya, kuat pemahamannya, dan istiqomah amalnya, maka barulah menggunakan metode sebagaimana tersirat dalam karakteristik surat Madaniyah; banyak dan luas ilmunya, serta tegas bahasanya.
Landasan Kebertahapan Rasulullah ﷺ dalam Pendidikan
Rasulullah ﷺ sangat memperhatikan perbedaan karakter (kepribadian) masing-masing peserta didiknya, baik yang sedang belajar maupun bertanya. Beliau mengajari setiap orang sesuai kadar pemahaman dan kedudukannya, serta sangat menjaga perasaan pelajar pemula. Beliau tidak mengajarkan kepada pelajar pemula sesuatu yang beliau ajarkan kepada pelajar yang telah matang. Beliau juga menjawab setiap pertanyaan sesuai yang dikehendaki dan cocok dengan kondisi penanyanya.[17]
Suatu hari Rasulullah ﷺ pernah mengajari Mu’adz bin Jabal pelajaran yang tidak boleh diajarkan kepada setiap orang, beliau berkata, “Tiada seorang pun hamba yang bersaksi dengan sungguh-sungguh dari dalam hatinya, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali Allah akan haramkan dirinya disentuh api neraka.”
Ketiaka Mu’adz bertanya, apakah boleh hal tersebut diajarkan kembali kepada orang lain, Rasulullah ﷺ melarangnya dengan berkata, “Jangan. Sebab mereka akan mengandalkannya.” Rasulullah ﷺ melarang untuk disampaikan kembali karena boleh jadi hal tersebut akan dipahami secara dangkal oleh orang lain, bahwa mereka tidak perlu melakukan amal baik lainnya karena dua kalimat syahadat sudah cukup untuk menyelamatkan mereka. Mereka tidak benar-benar memperhatikan bahwa maksud sesungguhnya adalah mengucapkan dua kalimat syahadat dan menunaikan konsekuensi keduanya, yaitu taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam melaksanakan syariat dan hukum-hukum agama.[18]
Dalam masalah ini Sayyidina Ali pernah berkata, “Berbicaralah kepada manusia dengan bahan pembicaraan yang mereka tahu. Sukakah kalian jika Allah dan Rasul-Nya didustai?” Ini menjadi landasan agung dalam pendidikan, yaitu seorang guru harus memperhatikan kadar akal dan tingkat pemahaman sang murid, sehingga bisa memberikan materi yang dapat diterima akalnya dan bisa menyampaikannya dengan metode yang tepat.[19]
Kesimpulan
Baik pendidikan dalam pengertian umum ataupun khusus, kebertahapan dalam pendidikan menjadi sesuatu yang selalu Rasulullah ﷺ sangat perhatikan, dan hal tersebut menjadi salah satu kunci keberhasilan pendidikan Rasulullah. Tokoh-tokoh yang hidup setelah masa Rasulullah ﷺ merupakan bukti paling kuat atas keberhasilan pendidikan beliau, hal tersebut bisa dibuktikan dengan membandingkan kondisi mereka sebelum dan sesudah dididik oleh Rasulullah ﷺ. Dan secara umum mereka menjadi generasi yang dipersaksikan oleh Rasulullah ﷺ sebagai generasi terbaik, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.”[20]
Kebertahapan tidak hanya menjadi prinsip pendidikan yang Rasulullah ﷺ pegang, tapi juga menjadi prinsip yang diajarkan kepada para sahabatnya. Cukuplah hadits Mu’adz bin Jabal sebagai buktinya: Ketika Mu’adz diutus ke Yaman, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, “Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, dan Aku adalah Rasulullah. Apabila mereka mentaati hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwasanya Allah mewajibkan kepadanya lima kali shalat sehari semalam. Jika mematuhi hal itu, maka ajarilah mereka, bahwasanya Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang kaya mereka, kemudian dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka. Apabila mereka mematuhi hal itu, maka janganlah mengambil harta terbaik mereka. Takutlah dari do’a orang-orang yang terzalimi, karena tidak ada hijab antara mereka dengan Allah.”[21]
FOOTNOTE
[1] William Montgomery Watt dalam The Influence on Medieval Europe, hal 19. Sebagaimana dikutip dari Raghib As-Sirjani, Pengakuan Tokoh Nonmuslim Dunia tentang Islam (Bandung: Syigma Publishing, 2010) hal. 162
[2] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Fikih Tamkin (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006) hal. 513
[3] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Sejarah Lengkap Rasulullah jilid 1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004) hal. 160
[4] Ash-Shalabi, Fikih Tamkin. Hal. 512
[5] Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah (Jakarta: Qisthi Press, 2016) hal. 117-163
[6] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020) hal. 124-132
[7] Al-Qaththan, Ilmu Al-Qur’an. Hal. 141-142
[8] Muhammad Amazhun, Manhaj Dakwah Rasulullah ((Jakarta: Qisthi Press, 2006) hal. 124
[9] Amzhun, Manhaj Dakwah. Hal. 272-276
[10] Abdul Fattah Abu Ghuddah, Muhammad Sang Guru (Jakarta: Penerbit Akses, 2018) hal. 107-109
[11] Abu Ghuddah, Sang Guru. Hal. 108
[12] Ash-Shalabi, Fikih Tamkin. Hal. 513
[13] Majid Irsan Al-Kilani, Model Kebangkitan Umat Islam (Depok: Mahdara Publishing, 2019) hal. 8
[14] QS. Ar-Ra’d: 11
[15] Al-Qaththan, Ilmu Al-Qur’an. Hal. 76-77
[16] Ash-Shallabi, Sejarah Lengkap. Hal. 166-171
[17] Abu Ghuddah, Sang Guru. Hal. 121
[18] Abu Ghuddah, Sang Guru. Hal. 123
[19] Abu Ghuddah, Sang Guru. Hal. 124-125
[20] Syaikh Mahmud Al-Mishri, Sahabat-sahabat Rasulullah jilid 1 (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2012) hal. 68
[21] Abdul Qadir Asy-Syaikh Ibrahim, Duta-duta Islam Pada Masa Rasulullah (Surabaya: Pustaka Yassir, 2013) hal. 152
Oleh: Widi YN
Alumni AGA Bandung Angkatan 3