Masyarakat Arab Jahiliyah: Bukan Hanya Kebodohan, Tapi Kecerdasan yang Tak Mengenal Kebenaran

Artikel Dosen    01 Sep 2025    3 menit baca
Masyarakat Arab Jahiliyah: Bukan Hanya Kebodohan, Tapi Kecerdasan yang Tak Mengenal Kebenaran

Penulis: Shalahuddin Al Ayyubi

Bidang Ilmu: Siroh Nabawiyah

Tujuan Artikel: Meluruskan Pemahaman tentang Kondisi Masyarakat Arab Ketika Nabi ﷺ Diutus.

Isi Artikel:

 

Seringkali kita memahami masa Jahiliyah hanya sebatas "masa kebodohan" masyarakat Arab tentang ilmu, tak bisa membaca, atau menulis. Seolah mereka adalah kaum primitif yang tenggelam dalam gelapnya ketidaktahuan.

Namun, Benarkah Hanya Demikian?

Faktanya, anggapan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Meski benar bahwa mayoritas masyarakat Arab ketika Nabi ﷺ diutus tidak bisa membaca atau menulis dan karena itu disebut “kaum ummi” bukan berarti mereka tidak berperadaban. 

Mereka hidup dalam tradisi lisan yang kuat, mengandalkan daya ingat luar biasa untuk menyerap dan menyebarkan ilmu. Syair, nasab, dan sejarah dihafal dari generasi ke generasi. Bahkan dalam hal sastra dan kefasihan bahasa, mereka berada di puncak yang sulit ditandingi hingga hari ini.

Lalu, jika bukan sekadar kebodohan intelektual, apa makna Jahiliyah yang sesungguhnya?

 

Makna Jahiliyah: Lebih dari Sekadar "Tidak Tahu"

Secara bahasa, kata Jahiliyah berasal dari kata kerja jahila-yajhalu (جَهِلَ-َيَجْهَلُ) yang berarti "tidak tahu/bodoh". Namun, pemaknaannya dalam kisah perjalanan Nabi ﷺ lebih luas dan mendalam. 

(Imam) Al-Qarafi dalam kitabnya, Nafā'is al-Uṣūl fī Syarḥ al-Maḥshūl, membagi makna Jahiliyah menjadi 2 macam, diantaranya:

  1. Jahiliyah Sederhana (Al-Jahl al-Bashiṭ)

Yaitu ketika seseorang tidak tahu, dan dia sadar bahwa dirinya tidak tahu; seperti orang yang ditanya tentang jumlah rambut di kepalanya, apakah dia tahu atau tidak? Maka dia akan menjawab: 'Saya tahu dan yakin bahwa saya tidak mengetahuinya.' Ini disebut kebodohan sederhana.  

  1. Jahiliyah Kompleks (Al-Jahl al-Murakkab)

Yaitu ketika seseorang tidak tahu, namun dia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu; seperti keyakinan orang-orang kafir dan pengikut hawa nafsu serta yang semisal mereka. Bahkan terkadang mereka tahu kebenaran, tetapi menolak atau tidak mengamalkannya bahkan justru meyakini sebaliknya.

Kondisi kedua inilah yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala:

﴿ اِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّٰهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْۤءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ ﴾ (سورة النساۤء: 17)

“Sesungguhnya tobat yang pasti diterima Allah itu hanya bagi mereka yang melakukan keburukan karena kebodohan kemudian mereka segera bertobat.” (QS. An-Nisā’: 17)

Ketika menafsirkan ayat ini, para sahabat -sebagaimana dikutip Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidha’ ash Shirat al Mustaqim- mengatakan:

« كل من عمل سوءًا فهو جاهل، وإن علم أنه مخالف للحق»

"Setiap orang yang melakukan keburukan adalah orang yang jahil (bodoh), meskipun ia mengetahui bahwa perbuatannya menyelisihi kebenaran."

 

Jahiliyah: Ketika Kecerdasan Tidak Mengenal Kebenaran

Di samping itu, dalil-dalil lain dalam Al-Qur'an dan hadis juga merujuk pada Jahiliyah sebagai sebuah kondisi, sifat, atau sistem nilai yang menyimpang, bukan sekadar ketiadaan pengetahuan. 

Contohnya adalah perkataan Rasulullah ﷺ kepada Abu Dzar:

« إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ »

"Sungguh, dalam dirimu masih terdapat sifat jahiliyah!”

(HR. al Bukhari No. 30)

Dan ucapan Umar bin Khattab:

« إِنِّي نَذَرْتُ نَذْرًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ »

"Sungguh aku pernah bernazar di masa jahiliah.”

(HR. ad Darimi No. 2378)

Serta ucapan Aisyah:

« أَنَّ النِّكَاحَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ »

"Sesungguhnya pernikahan pada masa Jahiliah itu ada empat macam bentuknya.”

(HR. Abu Dawud No. 2272)

Jadi, masa Jahiliah bukan hanya tentang kebodohan, tetapi juga tentang kebodohan moral dan spiritual. Meskipun masyarakat Jahiliyah di satu sisi memiliki kecerdasan dalam sastra, perdagangan, dan strategi perang, namun di sisi lain mereka terjerumus dalam penyimpangan akidah (syirik), moral (membunuh anak perempuan, berzina), dan sosial (fanatisme kesukuan yang buta).

Kecerdasan mereka tidak digunakan untuk mencari kebenaran hakiki, melainkan untuk membanggakan suku, memuaskan hawa nafsu, dan mempertahankan tradisi nenek moyang yang rusak. Inilah makna sebenarnya dari Jahiliyah. Sebuah peradaban yang pengetahuannya tidak dibimbing oleh wahyu.

 

Depok, 15 Agustus 2025

 

lanjut baca