Ditulis oleh Ustadz Matahari Satria, Lc
Tidak semua orang yang melewati Ramadhan akan menjadi muttaqi. Para ulama telah memberikan banyak nasihat untuk menjadikan Ramadhan yang bermakna. Ramadhan yang mampu memenangkan perang Badar. Ramadhan yang mampu memenangkan perang Tabuk. Ramadhan yang mampu memenangkan kaum muslimin ketika Fathu Makkah.
Pada masa shahabat, Ramadhan mampu menghasilkan kekuatan besar sehingga banyak kemenangan yang dicatat dengan tinta emas Sejarah terjadi pada bulan Ramadhan.
Agar Ramadhan mampu menghasilkan kemenangan maka yang pertama harus disertai dengan iman. Ini adalah perkara besar. Fiqih bersandingan dengan Aqidah. Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ramadhan seharusnya pertama kali dikaitkan dengan Aqidah karena Nabi mengaitkannya dengan iman. Seseorang tidak dikatakan beriman sampai ia tunduk dan patuh pada ketentuan yang tertuang dalam kitabullah dan sunnah. Siapa yang melewati Ramadhan tetapi hatinya masih bercabang antara Allah dan yang lain, memilih apa yang cocok dan tidak cocok baginya dari al-Quran dan sunnah sebagaimana memilih channel TV maka Ramadhannya tidak akan diterima oleh Allah. Kedudukannya sebagaimana Abdullah bin Ubay, tokoh munafik yang juga melaksanakan puasa Ramadhan, tetapi Ramadhannya tidak membuahkan surga.
Iman dan ketundukan sebagaimana gula dan rasa manisnya. Seseorang tidak dikatakan beriman sampai ia tunduk dan patuh pada aturan Allah dan Rasulullah. Bila di dalam hatinya masih ada rasa benci pada aturan Allah dan Rasul-Nya maka Ramadhannya tidak akan diterima karena ia melakukan kejahatan dengan hati. Sementara, kejahatan yang dilakukan dengan hati lebih berat hukumannya daripada kejahatan fisik.
Ketika syarat pertama ini hilang, jangan berharap kemenangan akan datang kepada kaum muslimin sebagaimana para shahabat meraih kemenangan di bulan Ramadhan.
Kedua, taubat. Beban terberat yang dibawa seseorang hingga susah menjemput kebaikan adalah dosa dan kemaksiatan. Syaikh asy-Syinkiti Ketika ditanya mengapa seseorang berat melaksanakan ketaatan pada bulan Ramadhan, ia menjawab karena kemaksiatan dan dosa yang masih terbawa Ketika Ramadhan. Oleh karena itu, Aisyah mengajarkan dzikir yang banyak dibaca saat Ramadhan,
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku”. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Tidak ada manusia yang bersih dari dosa, tetapi Allah menyukai orang yang bertaubat, sebagaimana sabda Rasulullah,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat”.
Oleh karena itu, setan berusaha melakukan taswif atau melambatkan orang untuk bertaubat.
Ketika seseorang bertaubat maka hilanglah beban yang membuatnya sulit melakukan kebaikan. Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma’arif mengatakan apabila sepuluh hari pertama Ramadhannya diterima, maka sepuluh hari keduanya lebih baik, bila sepuluh hari kedua diterima maka sepuluh hari yang terakhir lebih baik dari duapuluh hari pertamanya. Maka ada yang dilakukan Rasulullah yang tidak dilakukan di awal Ramadhan.
Ibunda Aisyah menuturkan,
“Ketika memasuki 10 Ramadhan terakhir, Rasulullah bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah”. (Muttafaqun ‘alaih).
Imam Qatadah seorang ahli tafsir tabi’in biasa mengkhatamkan al-Quran tiap 7 hari. Di bulan Ramadhan ia khatamkan tiap 3 hari sekali. Ketika Ramadhan tersisa 10 hari, beliau mengkhatamkan al-Quran sehari sekali.
Ketiga, memperbanyak ilmu. Umar bin Abdul Aziz berkata,
مَن عَبَدَ اللهَ بِغَيرِ عِلمٍ كَانَ مَا يُفسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
“Barang siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan”. (Al-Amru bil Ma’ruf)
Orang yang memasuki Ramadhan dengan ilmu akan berbeda dengan mereka yang memasukinya tanpa ilmu. Pelajarilah fiqih-fiqih puasa, baik hukumnya, adabnya, dan ibadah yang berkaitan dengan bulan Ramadhan seperti itikaf, umrah, zakat fitrah, dan sebagainya.
Berbukanya orang yang berilmu akan berbeda dengan berbukanya seseorang tanpa ilmu, demikian juga dengan tarawih dan amalan lainnya. Seorang yang berilmu akan menyelesaikan tarawih hingga witir karena Rasulullah bersabda,
من قام مع الإمامِ حتى ينصرفَ كتب اللهُ له قيامَ ليلةٍ
“Sesungguhnya siapa saja yang salat Bersama imam hingga imam itu selesai, maka ia dicatat telah mengerjakan salat semalam penuh”. (HR. Tirmidzi)
Semoga Ramadhan kita menjadi Ramadhan yang mampu memberikan kebaikan untuk kita, keluarga kita, dan kaum muslimin.