Hidup ini adalah pilihan. Pilihan untuk berbuat sesuatu atau hanya sekedar diam mengabaikan waktu. Apapun pilihannya, waktu yang tersedia akan terus berjalan tidak peduli dengan berbagai bentuk keadaan. Dan manusia yang berbahagia adalah mereka yang secara bijak menggunakan waktu untuk hal yang bermanfaat.
Mengisi waktu hanya ada dua pilihan, menggunakannya di dalam kebaikan atau keburukan, tidak ada pilihan pertengahan, karena diam tanpa maksud yang jelas pun termasuk dalam hal yang sia-sia yang menjerumuskan seseorang di dalam keburukan. Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya al-Jawaabul Kaafi (h. 156) berkata, “jika dirimu tidak disibukkan dengan perkara-perkara yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang buruk”.
Seorang mukmin yang cerdas mampu memanfaatkan waktunya untuk kegiatan yang bermanfaat. Tidak berlalu waktu kecuali digunakan untuk menghasilkan sesuatu, seperti ibadah, bekerja, atau menuntut ilmu. Singkatnya, di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.
Rasulullah Saw bersabda,
من حسن اسلام المرء تركه مالا يعنيه
“Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya”. (HR. At-Tirmidzi)
Hadist ini menjelaskan tentang kebaikan islam seseorang berbanding lurus dengan hal-hal baik yang dikerjakan, dan meninggalkan perkara yang sia-sia yang tidak bermanfaat.
Menurut imam An-Nawawi dalam Syarh al-Arba’in Haditsin An-Nawawiyah (h.40), makna ‘sesuatu yang tidak bermanfaat’ adalah segala hal yang tidak penting atau tidak berguna baginya berkenaan dengan urusan agama dan dunia, baik berupa perkataan atau perbuatan. Hal itu yang harus ditinggalkan oleh setiap mu’min demi mewujudkan baiknya keislaman pada dirinya.
Apa yang menjadi standar penilaian untuk menentukan sesuatu dianggap tidak bermanfaat? Standarnya adalah syariat islam, bukan hawa nafsu atau akal manusia. Hal ini sekaligus menepis kesalahpahaman sebagian orang yang meninggalkan kewajiban karena menilai tidak manfaat bagi dirinya, mengingat setiap kewajiban yang disyariatkan islam terdapat kebaikan dan hikmah di dalamnya.
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Badai’ul Fawaid (3/381-385) menyebut ada enam strategi setan dalam menyesatkan manusia, yaitu:
1. Mengajak pada kekafiran, kesyirikan, dan memusuhi Allah dan Rasul-Nya
2. Mengajak pada perbuatan bid’ah
3. Mengajak pada dosa besar
4. Mengajak pada dosa kecil
5. Menyibukkan pada perkara yang mubah
6. Menyibukkan pada amalan yang kurang afdhal padahal ada amalan yang lebih afdhal
Intinya keenam hal yang disebut oleh imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah ini semuanya mengajak manusia untuk melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat dan bahkan bisa menjadikan sesat.
Seorang mukmin hendaknya memandang waktu sebagai perkara nomer satu. Ia tidak boleh pergi begitu saja, kecuali memberi manfaat bagi kehidupannya. Bahkan soal waktu, seharusnya kita menjadi orang yang paling pelit untuk kehilangannya, seperti digambarkan oleh imam Hasan al-Bashri, “Aku mendapati beberapa kaum, salah satu di antara mereka lebih menaruh perhatian terhadap usianya (waktunya) daripada terhadap dirham dan dinarnya”. (Taqrib Zuhd Ibnul Mubarak, 1:28)
Kini saatnya kita mengabaikan setiap perkara yang berpotensi mendatangkan kerugian. Karena waktu yang tersedia bukan untuk beristirahat, tetapi untuk beristiqomah melakukan perkara yang tepat dan bermanfaat, karena bagi seorang mukmin sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Mas’ud, “Tidak ada waktu bagi seorang mukmin untuk beristirahat kecuali apabila dia telah berjumpa dengan Allah SWT”.