Dalam hal apapun, sikap lemah lembut akan memperindah sedangkan sikap kasar dan keras akan memperburuk. Bahkan orang yang punya sifat kasar dan keras sekalipun suka bila diperlakukan dengan lemah lembut.
Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ
Jika engkau (Muhammad) bersikap kasar lagi keras, niscaya manusia akan pergi darimu.
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pun dibekali oleh Allah dengan sifat lemah lembut dan penuh kasih sayang. Karenanya, setiap orang yang bertemu dengan beliau, pasti menyukai diri beliau. Para sahabat suka sekali bermajelis bersama beliau, enggan bubar, seakan sedang berada di pinggiran oase yang teduh.
Adapun orang yang memusuhi, tak satupun dari mereka yang memusuhi beliau karena akhlaknya. Mereka benci dan memusuhi karena enggan menerima kebenaran yang Beliau bawa namun tak sanggup membantahnya.
Sikap lemah lembut memang istimewa. Di manapun berada, sifat ini akan memperindah sekitarnya. Sebaliknya, sikap keras dan kasar akan mencemari dan memperburuk penyandangnya. Orang-orang cenderung menjaga jarak dengan pemilik tabiat ini. Lebih-lebih dalam rumah tangga, sikap kasar memiliki akibat yang sangat buruk bagi keluarga. Suami yang keras wataknya, kasar ucapannya, dan zalim tangannya, akan dibenci dan dijauhi keluarganya. Jika pun fisik mereka terlihat dekat karena memang harus tinggal seatap, hati mereka berjauhan.
Efek bagi istri adalah munculnya tekanan batin. Sikap kasar suami adalah siksaan terberat bagi mental maupun fisik istrinya. Jangankan punya suami yang pemarah dan ringan tangan, punya suami yang penyayang saja kadangkala istri masih sering stress karena beban kerjaan rumah tangga. Pekerjaan domestik ibu rumah tangga, apalagi jika anaknya banyak, sudah luar biasa berat. Kalau ditambah beban punya suami yang kasar perilakunya, bebannya akan tambah berat.
Kalau ibu rumah tangga sudah stres, pelampiasannya bisa ke mana-mana. Korban paling menderita biasanya anak-anaknya. Karena ketika seorang ibu disakiti oleh suaminya, cinta dalam hatinya kepada anak-anaknya akan melemah. Rasa kepemilikannya mengendor. Semakin zalim suaminya, ia akan merasa bahwa anaknya adalah titipan suaminya, bukan buah hati mereka berdua.
Akibatnya bisa ditebak, luapan emosi sang ibu akan ditumpahkan kepada anak-anaknya. Kesabarannya dalam merawat dan mendidik anak jadi setipis tisu. Mudah sekali sobek hanya karena masalah sepele. Pendidikan anak pun terancam gagal.
Adapun bagi anak, kezaliman ayahnya akan menanamkan dendam dalam hati mereka. Biji dendam ini bisa tumbuh menjadi kebencian pada ayah sendiri, atau malah menjelma menjadi perilaku yang mereka warisi. Siklus setan pun berlanjut. Manusia berhati keras dan berperilaku kasar pun punya generasi penerus. Naudzubillahi min dzalik.
Jika sikap kasar dimiliki oleh istri, korban utamanya adalah suami. Biasanya sikap kasar seorang wanita bukan dalam hal fisik tapi verbal. Kata-katanya kasar, minus takzhim pada suami, egois, dan menyakitkan hati. Suami pun stres karena tabiat buruk istrinya. Akibatnya pun macam-macam, ada yang suaminya tak tahan akhirnya menceraikan. Ada yang selingkuh, ketahuan, cekcok, dan endingnya sama: perceraian. Ada yang diam-diam poligami dengan wanita yang lebih bisa takzhim padanya. Tapi akhirnya sama juga, istri pertamanya tidak terima, dan rumah tangga pun kandas pada akhirnya. Anaknya? Akan menerima segala konsekuensi dari keluarga broken home.
Lemah lembut maupun kasar memang merupakan watak manusia. Sesuatu yang biasanya sudah mengurat-akar sampai ke hati. Pilihan sikap dan respon yang secara reflek muncul dalam menghadapi berbagai situasi. Stimulan sama tapi responnya berbeda.
Anak nangis, orangtua yang lembut akan membiarkan beberapa saat lalu mencoba mendekati dengan lembut dan mendiamkan. Sedangkan orangtua yang kasar akan memarahi atau menyakiti.
Meskipun watak tapi bukan berarti tidak bisa diubah. Untuk sikap dan watak yang tidak baik, kita tidak bisa berkata, "Ini sudah tabiatku, mau bagaimana lagi?" Manusia adalah makhluk pembelajar. Dia bahkan bisa mengubah sifat dan karakternya meskipun butuh waktu yang lama dan usaha yang keras. Pun demikian kelemahlembutan harus diupayakan karena merupakan kunci kebaikan dalam segala hal.
Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقَ، يُحْرَمُ الْخَيْرَ كُلَّهُ"Barang siapa yang diharamkan baginya rifq, diharamkan baginya kebaikan seluruhya." (HR. Muslim)Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيَعْطِي عَلَى الرِّفْقَ مَا لَا يَعْطِي عَلَى الْعُنْفِ، وَمَا لَا يَعْطِي عَلَى سِوَاهُ
"Sesungguhnya Allah Rafiq (Maha Lembut), dan mencintai rifq/kelembutan, Dia memberikan pada rifq, apa-apa yang tidak diberikan pada sikap 'anaf (keras), dan tidak pula Dia memberikan pada yang selainnya." (HR. Muslim)
Salah satu cara mengubah tabiat yang buruk adalah dengan membangun kesadaran yang jujur akan kelemahan dan kekurangan diri. Kesadaran inilah yang nantinya akan menjadi alarm saat respon yang buruk muncul. Meskipun kesadaran ini sering telat alias munculnya hanya sebagai sebuah penyesalan setelah kejadian, namun itu menjadi pertanda awal yang baik. Seterusnya, tinggal meningkatkan kesadaran tersebut agar dapat hadir lebih cepat sebelum tubuh memberikan respon berupa marah atau membentak.
Cara selanjutnya, berdoa kepada Allah agar melembutkan hati dan sikap. Jiwa dan raga kita ini sepenuhnya milik Allah. Allah maha kuasa untuk mengubah dan membolak-balikkan sifat dan wujudnya. Wallahu a'lam.