Ditulis oleh Ustadz Djalal Abu Fahd, Lc.
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
Dari Ummu Salamah radhiallahu anha berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam Bersabda,,
“Barangsiapa yang telah memiliki hewan yang hendak dikurban kan, apabila telah masuk tanggal 1 Dzulhijjah, Maka janganlah dia memotong sedikitpun bagian dari rambut dan kukunya hingga dia selesai menyembelih.” (HR. Muslim 5236)
FAIDAH HADITS:
- Hadits di atas menunjukkan bahwa bagi mereka yang berniat berkurban, maka mulai masuk awal Dzulhijjah sampai hewan kurbannya itu nanti disembelih, dia tidak boleh mencukur rambut dan memotong kukunya.
- Rambut dan kuku yang dilarang untuk dipotong dalam hadis di atas adalah rambut dan kuku shohibul Qurban, bukan rambut dan kuku hewan Qurban. Karena kata ganti yang digunakan dalam kalimat ‘شَعْرِهِ’ dan ‘أَظْفَارِهِ’ adalah kata ganti tunggal untuk jenis mudzakar (laki-laki), yaitu kata ganti ‘هـ’. Dan ini adalah kata ganti yang kembali kepada pemilik hewan bukan hewannya.
- Imam Nawawi menyebutkan bahwa larangan memangkas rambut tersebut adalah baik dengan mencukur, memendekkan, mencabut, membakar, atau lainnya. Dan hal ini mencakup rambut yang ada pada ketiak, kumis, kemaluan, kepala, dan seluruh rambut yang ada di badan.
- Hikmah lain dari dimakruhkan memotong rambut dan kuku bagi shohib kurban adalah agar bagian ini tetap ada sehingga menjadi sempurnalah ampunan semua anggota badannya saat menyembelih hewan kurban, seperti orang yang berkurban dengan hadyu dalam ibadah haji, namun hukum makruh di sini akan gugur jika memang mengharuskan untuk memotong kuku atau rambutnya seperti orang yang sakit atau luka.
REFERENSI:
- Nuzhatul Muttaqin Syarah Raiyadhus Shalihin Min Kalami Sayyidil Mursalin, Syarah para ulama besar, Muassasah Ar-Risalah, hal. 1165
- Syarah Riyadhus shalihin Min Kalami Sayyidil Mursalin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin, Dar Wathan li An-Nasyr, 6/450