Ditulis oleh Ustadz Matahari Satria, Lc.
Maraknya dakwah Islam di Indonesia layak kita syukuri. Terlebih saat banyak para da’i mulai melek teknologi dan menggunakan alat informasi sebagai media dakwah. Masyarakat menjadi lebih mudah untuk mendapatkan asupan ilmu melalui platform youtube, whatsapp, telegram, dan yang lainnya. Sayangnya, masyarakat kerap dibuat resah dengan munculnya perdebatan dan saling menyalahkan di antara beberapa oknum da’i yang kemudian menjadi viral di media sosial.
Setiap manusia memiliki perbedaan, baik secara keilmuan maupun penyampaian. Adapun perbedaan keutamaan dan posisi di sisi Allah, tidak ada orang yang tahu. Hal itu termasuk perkara gaib yang Allah tidak perlihatkan kepada orang yang diberi keutamaan. Sehingga perkara itu diserahkan kepada Allah yang paling mengetahui terhadap makhluknya. Dia yang paling tahu akan keikhlasan dan kejujuran hamba-hambaNya. Dia pula yang lebih mengetahui siapa yang paling dekat dengan-Nya.
Sementara perbedaan antara ulama dalam sisi keilmuan, maka yang memberikan penilaian dalam hal itu bukan orang awam. Akan tetapi penilaian yang jujur adalah ahli ilmu yang jujur pada dirinya dalam menilai mereka dan dia spesialis dalam bidang tersebut.
Tidak kita dapati para ulama sibuk memberikan klasifikasi dan penilaian posisi para ulama, kecuali kalau ada kemaslahatan atau peristiwa tertentu yang mengharuskan hal itu. Tidak ada pada para ulama sikap meremehkan satu sama lain.
Tajuddin as-Subki mengatakan,
“memperbincangkan para imam agama, dan saling membandingkan di antara mereka yang belum sampai pada tingkatannya, itu merupakan perkara yang tidak bagus. Dikhawatirkan akibat buruknya di dunia dan di akhirat. Sedikit sekali orang yang terjerumus dalam hal ini dapat selamat. Terkadang hal ini merupakan sebagai sebab terjerumus kepada ulama yang bisa menghancurkan tempat”. (Al-Asybah Wan Nazoir, 2/328)
Dahulu, para ulama telah mengetahui kedudukan para ulama dari sisi keutamaan dan ilmunya. Mereka rendah hati dan meninggikan kedudukan orang yang telah mendahuluinya dari kalangan ahli ilmu.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “sementara ahli ilmu yang bermanfaat berbeda dengan ini. Mereka berprasangka buruk kepada dirinya dan berprasangka baik kepada ulama salaf terdahulu. Mengakui dalam hati dan dirinya akan keutamaan dari ulama salaf terdahulu. Tidak mampu menyamai derajat atau bahkan mendekatinya. Alangkah indahnya sebuah ungkapan dari Abu Hanifah, ketika beliau ditanya tentang Al-Qomah dan Al-Aswad siapa di antara keduanya yang lebih mulia? Beliau menjawab, “Demi Allah, kita tidak layak untuk menyebutkannya, bagaimana mungkin kita membedakan keutamaan di antara keduanya”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menyampaikan sebuah perkataan yang berharga bahwa menyibukkan diri dengan membeda-bedakan keutamaan di antara sebagian madzhab, syaikh yang diikuti dan meremehkan orang lain, termasuk dasar ahli bid’ah. Manhaj orang Rafidhoh dan Syi’ah. Bahkan hal itu merupakan kebiasaan para ahli kitab sebelum kita.
“Dan orang-orang Yahudi berkata: “orang-orang Nasrani itu tidak memiliki keutamaan”, dan orang-orang Nasrani berkata: “Orang-orang Yahudi tidak memiliki keutamaan….” (Q.S Al-Baqarah : 113)
Seharusnya bagi setiap orang Islam yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, menjadikan tujuan utamanya adalah mengesakan Allah dengan beribadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya, serta mentaati utusan-Nya dan berputar di porosnya di mana saja ia dapatkan. Hendaknya mereka mengetahui bahwa sebaik-baik makhluk setelah para Nabi adalah para sahabat. Jangan membela seseorang dengan mutlak kecuali hanya untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak juga membela kelompoknya dengan mutlak kecuali hanya hanya kepada para sahabat radhiallahu ‘anhum. Petunjuk hanya berputar bersama Rasul di mana ia berada dan berputar di sekitar para sahabat beliau. Kalau mereka (para sahabat) telah bersepakat (ijma’), maka mereka tidak akan bersepakat pada kesalahan. Berbeda dengan pengikut para ulama, terkadang mereka bersepakat pada kesalahan”. (Majmu’ Fatawa)
Seorang muslim semestinya tidak disibukkan dengan membeda-bedakan para ulama, siapa di antara mereka yang banyak ilmunya. Biarlah hal itu dilakukan oleh para ulama yang berkompeten dan spesial di bidangnya. Tidak perlu menyibukkan diri dengan hal-hal yang merugikan dirinya.
Para ulama sampai pada derajat seperti itu, karena mendapatkan taufiq dari Allah dengan keikhlasan dan kesungguhannya disertai sikap bersusah payah dengan mencurahkan waktu dalam belajar, bersungguh-sungguh melakukan perjalanan, dan mengeluarkan harta untuk membeli buku.
Maka hendaknya mereka yang sibuk dengan memberikan penilaian, menyibukkan diri seperti yang dilakukan oleh ulama tersebut. Hendaknya mereka memberi sanjungan dan penghormatan bagi setiap orang yang berkhidmat untuk agama Allah dengan mengajarkan orang ilmu yang bermanfaat. Karena para ulama adalah pewaris para Nabi, maka termasuk dalam perbuatan yang tidak layak bersikap terhadap pewaris Nabi kecuali apa yang sesuai dengan hak yang harus mereka dapatkan seperti mengakui keutamaan, ilmu, serta amal baiknya kepada masyarakat.