Kata orang, GURU itu harus bisa digugu (dipercaya) dan ditiru. Apalagi guru agama alias ustadz, kyai, ajengan dan yang semisal. Sayangnya belakangan ini banyak guru yang belum bisa dijadikan panutan oleh murid-muridnya. Banyak dijumpai “oknum” guru, ustadz yang justru menjadi “dalang” perusak generasi, perusak moral, perusak ajaran islam yang hanif ini. Yang lebih parah lagi justru oknum ini datang dari mereka yang berlatar belakang “orang ngaji” orang yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengajarkan norma-norma agama. Na’udzubillah min dzalik.
Peristiwa yang miris ini dalam beberapa hari ini haruslah menjadi pelajaran yang mahal bagi para guru lebih-lebih bagi orang tua yang hendak memilihkan tempat belajar untuk buah hatinya. Jangan sampai penyesalan itu datang, ketika penyesalan tidak bagi mendatangkan manfaat. Salah pilih sesal diri rugi kemudian.
Seakan menjadi semakin jelas betapa pentingnya orang tua untuk memilih pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Terbaik, bukan hanya tempatnya yang mewah penuh fasilitas yang woww, tetapi yang lebih urgent lagi adalah memilih guru-guru yang terbaik. Terbaik agamanya, akidah dan akhlaknya serta guru yang mengilmui dan meneladani bukan guru yang membinasakan dengan jubah “kealimannya”.
Satu hal yang harus menjadi perhatian keluarga muslim hari ini, ternyata musuh-musuh islam telah sadar bahwa cahaya islam ini tidak akan pernah padam selama mereka berpegang teguh dan konsen pada tiga hal (KELUARGA, PENDIDIKAN DAN KEHORMATAN GURU).
Salah seorang Orientalis pernah berkata:
إذا أردت أن تهدم حضارة أمة فهناك وسائل ثلاث هي:
1 . اهدم الأسرة
2 .اهدم التعليم.
3. إسقاط القدوات والمرجعيات.
“Apabila Anda bermaksud menghancurkan suatu peradaban beserta induknya, ada tiga metode yaitu:
1. HANCURKAN KELUARGA MEREKA ➔ hilangkan peran ibu.
2. HANCURKAN PENDIDIKAN MEREKA ➔ hilangkan peran guru.
3. JATUHKAN (KEHORMATAN) PANUTAN MEREKA ➔Jatuhkan kredibilitas ulama.”
Ketika kehormatan guru telah hancur dan rusak maka rusaklah generasi, rusaklah penerus masa depan bangsa. Hilanglah kemuliaan sebagai pewaris para nabi. Khianat pada amanah ilmiah yang dipikulnya, zalim pada semua makhluk yang berbondong-bondong mendoakan kebaikan untuknya. Rusaknya kehormatan seorang guru terkadang datang dari pribadi yang rusak baik akidah dan moralnya.
BELAJAR MEMILIH GURU TERBAIK
Diriwayatkan oleh Al-Jahizh bahwa ‘Uqbah bin Abi Sufyan tatkala mengantarkan anaknya kepada seorang guru ia berkata,
“Hendaklah engkau memulai dalam mendidik anakku nanti dengan memperbaiki pribadimu, karena sesungguhnya mata mereka (anak didik) itu terikat dengan matamu, kebaikan menurut mereka adalah yang menurutmu baik, dan keburukan menurut mereka adalah yang menurutmu buruk. Ajarilah mereka sejarah orang-orang bijak, akhlak para pemilik adab. Ancamlah mereka denganku, ajarilah ia tanpaku, jadilah bagi mereka seperti seorang dokter yang tidak akan mengobati sebelum mengetahui penyakitnya, dan janganlah engkau pasrahkan ia di atas ketidakmampuanku karena sesungguhnya aku telah menyerahkannya kepadamu.” (Tarbiyatul Aulad fil Islam, Abdullah Nashih ‘Ulwan, hal. 154)
Beginilah seharusnya menjadi orang tua. Bukan hanya sekedar mengantar anak sekolah atau yang penting sekolah atau mondok di pesantren kemudian cuek atau lepas tangan menyerahkan kepada sekolah atau pesantren, tetapi yang harus dilakukan adalah memilih guru terbaik bukan yang kelihatnya baik. Jika mampu berikan wasiat kepada calon guru anak-anak kita. Karena apa yang menjadi kebiasaan gurunya kelak akan mewarnai kehidupan murid-muridnnya. maka bagaimana bisa dibayangkan pengaruhnya jika gurunya seorang yang “bejat” tak bermoral ??
Seharusnya para guru adalah mereka yang paling banyak khosyahnya (takutnya) kepada Allah, yang banyak mengispirasi daripada banyak membuat kegaduhan dan kontroversi. Banyak memberikan manfaat alih-alih membuat kerusakan yang menjadi beban umat islam. Jangan sampai jubah “faqihannya” dijadikan alat untuk melegalkan perbuatan haram. Jangan sampai tindak-tanduk seorang guru menjadi fitnah bagi agama yang suci ini. Jangan sampai nasehat yang disampaikan berubah menjadi boomerang yang merusak kehormatan dan wibawa seorang guru.
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah:
وعلى المعلم أن يمثل أمام الطلبة بالأخلاق الفاضلة والأعمال الصالحة. فإن المتعلم يقتدي بمظاهر المعلم وأخلاقه أكثر مما يقتدي به في تعليمه. فليستعن بالله وليخلص النية والله ولي التوفيق
“Hendaknya seorang pengajar senantiasa tampil di hadapan para pelajar dengan akhlak yang mulia dan amalan shalih. Karena seorang pelajar akan meniru penampilan dan akhlak seorang pengajar lebih banyak daripada ia meniru dalam pelajarannya. Dan hendaknya seorang pengajar meminta pertolongan kepada Allah (agar bisa menerapkannya) dan mengikhlaskan niatnya, dan Allah lah yang memberi taufiq”. (Ad-Dhiya’ Al-Lami' (4/100))
Jika masih ada malu maka simaklah bagaimana amiru syu’ara Ahmad Asy-Syauqi rahimahullah pernah berkata dalam syairnya menggambarkan bagaimana mulianya seorang guru:
قُم لِلمُعَلِّمِ وَفِّهِ التَبْجِيْلًا … كادَ المُعَلِّمُ أَن يَكونَ رَسُوْلًا
“Sambutlah Sang Guru, dan berikan penghormatan untuknya. Hampir-hampir seorang guru menjadi seorang Rasul (atau menyamai fungsi dan kedudukannya).”
UNTUK SEMUA PARA GURU…
Berhati-hatilah..berhati-hatilah..berhati-hatilah..Sesungguhnya engkau adalah teladan. Jadikan dari amalmu adalah adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu. Jadilah guru yang mendewasakan muridnya, yang fakih pada sebuah permasalaan bukan guru yang melahirkan generasi yang gamang akidah dan agamanya. Bukan guru yang berlindung pada jubah kefakihannya untuk membodohi muridnya. Jangan jadikan generasi ini generasi yang mudah terombang-ambing tak berprinsip. Generasi yang tergerus mengalir bersama zaman. Terbang bersama hembusan angin pemikiran.
Wa Allahu A’lam Bisshawab
REFERENSI:
Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil Islam, cetakan ke 21, penerbit Dar as-salam, Mesir