BERTANYA ALA BANI ISRAIL

Artikel Dosen    21 Nov 2023    8 menit baca
BERTANYA ALA BANI ISRAIL

Al-Quran adalah wahyu yang Allah Azza wa Jalla turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai petunjuk yang memandu umat akhir zaman ini. Dalam memberikan arahannya Al-Quran tidak hanya menggunakan perintah dan larangan saja tapi juga melalui kisah-kisah yang disajikan di dalamnya.

Dari sekian banyak kisah yang Al-Quran cantumkan, kisah Bani Israil adalah yang paling banyak mendapat porsi penyebutan. Tentu hal ini menunjukkan banyak hal terkait hikmah dan pelajaran yang bisa ditelaah oleh umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai umat akhir azam.

Satu dari penggalan kisahnya, Allah Azza wa Jalla sebutkan di dalam surat al-Baqarah.

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖٓ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تَذْبَحُوْا بَقَرَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۗ قَالَ اَعُوْذُ بِاللّٰهِ اَنْ اَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ ٦٧ ( البقرة/2: 67)

(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi.” Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang jahil.”. (Al-Baqarah/2:67)

Kisah dibuka dengan lafaz اِذْ yang bermakna tatkala atau ketika. Lafaz ini memiliki maksud mengajak mengingat kembali sebuah peristiwa penting di masa lampau, karena itu di dalam Al-Quran terjemah diberikan keterangan makna ‘ingatlah’.

Ayat ini mengingatkan kembali sebuah peristiwa yang pernah menghebokan Bani Israil. Sebuah peristiwa yang memperlihatkan tabiat buruk mereka yang kemudian Allah Azza wa Jalla menjadikan objek di dalam kisah ini sebagai nama surat ke-2 di dalam Al-Quran, al-Baqarah.

Peristiwa ini bermula tatkala muncul sebuah kasus pembunuhan di antara Bani Israil. Pelakunya diduga salah seorang di antara mereka. Hal ini lantas menjadikan mereka saling tuduh satu dengan yang lainnya.

Tatkala mereka mendapatkan jalan buntu, mereka pun bersepakat untuk mengadukan hal ini kepada rasul mereka Musa alaihis salam. Harapannya Tuhan berkenan menyibakkan bagi mereka siapa pelakunya.

Maka melalui Nabi Musa alaihis salam, Allah Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi betina.

Apakah dilaksanakan? Tidak.

Bahkan permintaan ini dianggap Bani Israil sebagai sebuah penghinaan. Ketidaktahuan mereka akan hikmah dari perintah Allah ini direspon dengan kalimat buruk, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan!?”.

Mereka menganggap perintah ini merupakan sebuah ejekan. Mereka yang dahulunya pernah dihukum karena menyembah sapi sekarang diminta menyembelih sapi. Akal logika mereka mengatakan tidak ada kaitannya sebuah pembunuhan dengan penyembelihan sapi.

Meski menyisahkan keanehan dibenak mereka akan tetapi mereka tetap melaksanakan perintah tersebut. Hanya saja karena sifat buruk mereka terhadap syariat, perintah yang sudah begitu jelas tetap saja mereka pertanyakan dan mereka detailkan.

Mereka bertanya perihal ciri sapi yang harus mereka sembelih.

قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَّنَا مَا هِيَ ۗ قَالَ اِنَّهٗ يَقُوْلُ اِنَّهَا بَقَرَةٌ لَّا فَارِضٌ وَّلَا بِكْرٌۗ عَوَانٌۢ بَيْنَ ذٰلِكَ ۗ فَافْعَلُوْا مَا تُؤْمَرُوْنَ ٦٨ ( البقرة/2: 68)

Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi) itu.” Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman bahwa sapi itu tidak tua dan tidak muda, (tetapi) pertengahan antara itu. Maka, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” (Al-Baqarah/2:68)

Jawaban dari pertanyaan mereka ini Allah Azza wa Jalla tutup dengan perintah agar mereka segera mengerjakan apa yang Allah perintahkan.

Sayangnya perintah ini masih kembali dipertanyakan oleh mereka.

قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَّنَا مَا لَوْنُهَا ۗ قَالَ اِنَّهٗ يَقُوْلُ اِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاۤءُ فَاقِعٌ لَّوْنُهَا تَسُرُّ النّٰظِرِيْنَ ٦٩ ( البقرة/2: 69)

Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami apa warnanya.” Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman bahwa (sapi) itu adalah sapi yang warnanya kuning tua, yang menyenangkan orang-orang yang memandang(-nya).” (Al-Baqarah/2:69)

Bahkan jawaban ini masih belum memuaskan mereka, mereka terus meminta kejelasan yang seharusnya sudah sangat jelas bagi mereka.

قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَّنَا مَا هِيَۙ اِنَّ الْبَقَرَ تَشٰبَهَ عَلَيْنَاۗ وَاِنَّآ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَمُهْتَدُوْنَ ٧٠ ( البقرة/2: 70)

Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi) itu. (Karena) sesungguhnya sapi itu belum jelas bagi kami, dan jika Allah menghendakinya, niscaya kami mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah/2:70)

Allah Azza wa Jalla pun terus menambahkan detail sapi yang benar-benar harus mereka sembelih, seraya mengiringinya dengan berlipat-lipat kesulitan. Maka betapa lelahnya mereka yang tidak hanya sedang mengalami petaka tapi juga harus mencari sapi ke berbagai tempat akibat dari perbuatan mereka sendiri.

Bahkan disebutkan bahwa sapi tersebut hanya ada satu di dunia dan untuk memperolehnya harus menukarkan dengan harta sebesar ukuran dan berat sapi tersebut.

Padahal sekiranya di awal mereka menyembelih sapi apapun, hal itu sudah cukup bagi mereka.

Sebagaimana pernyataan sahabat Ibnu Abbas radiyallahu anhuma tentang kisah ini.

لو ذبحوا بقرة ما أجزأتهم، وَلَكِنْ شَدَّدُوا فَشَدَّدَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ

Sekiranya mereka menyembelih sapi apapun niscaya hal itu cukup bagi mereka, akan tetapi mereka semakin mempersulit maka Allah mempersulit mereka

Karena itu hampir-hampir saja mereka tidak bisa melaksanakannya.

 

Para pembaca yang budiman!

Dalam kisah ini ada banyak sekali kepingan hikmah yang bisa kita jadikan pelajaran khususnya dalam dunia pendidikan.

Sebuah interaksi antara nabi Musa alaihis salam dengan kaumnya. Nabi Musa alaihis salam sebagai sosok pendidik dan pengajar yang bertugas membawa dan menjelaskan risalah Allah Azza wa Jalla kepada kaumnya. Dan Bani Israil sebagai murid yang harusnya patuh dan taat dalam menerima arahan dan penjelasan gurunya.

Beberapa hikmah dan pelajaran yang penulis ambil dalam kisah ini adalah sebagai berikut:

Pertama

Bertanya adalah perbuatan mulia yang disyariatkan oleh agama. Bertanya adalah sarana memperoleh ilmu antara seorang pendidik dengan yang dididik. Tentu dalam menyampaikanya harus juga disertai adab yang baik dan sesuai dengan kaidah-kaidah dalam bertanya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (An-Nahl/16:43)

Bertanya juga merupakan obat dari ketidaktahuan, penyembuh bagi yang buta akan pengetahuan.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

Tidakkah mereka bertanya jika tidak mengetahui? Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya”. (H.R. Abu Dawud No. 336)

Dalam penggalan kisah ini, bentuk pertanyaan yang diajukan oleh Bani Israil adalah pertanyaan yang tercela. Sebabnya karena pertanyaan-pertanyaan tersebut akan semakin menambah kesulitan dalam mentaati perintah. Hal ini terbukti pada akhir kisah disebutkan hampir-hampir saja mereka tidak bisa melaksanakannya.

Hal ini juga pernah terjadi pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ada seorang sahabat yang mempertanyakan berapa kali seorang muslim harus berhaji. Hal ini kemudian dicela oleh beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Karena itu hendaklah setiap apa yang keluar dari lisan kita, kita amati betul-betul dampak dan akibatnya termasuk ketika bertanya.

Jika sekiranya semakin menyulitkan diri kita dan orang-orang di sekitar kita maka kita tinggalkan, dan jika sebaliknya bahkan akan menambah ilmu pengetahuan kita maka kita sampaikan pertanyaannya.

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya memberikan pengarahan terkait hal ini.

اعْلَمْ أنَّ السُّؤالَ عَنِ الأشْياءِ رُبَّما يُؤَدِّي إلى ظُهُورِ أحْوالٍ مَكْتُومَةٍ يُكْرَهُ ظُهُورُها ورُبَّما تَرَتَّبَتْ عَلَيْهِ تَكالِيفُ شاقَّةٌ صَعْبَةٌ، فالأوْلى بِالعاقِلِ أنْ يَسْكُتَ عَمّا لا تَكْلِيفَ عَلَيْهِ فِيهِ

Ketahuilah bahwa bertanya tentang sesuatu terkadang dapat memunculkan hal-hal tersembunyi yang jika nampak maka akan tidak disukai dan memungkinkan beban syariat semakin berat dan menyulitkan, maka yang lebih utama bagi orang yang berakal adalah diam atas apa yang tidak dibebankan padanya”.

Maka sebagai muslim yang baik hendaklah lebih berhati-hati dalam bertanya. Sebuah kebaikan akan menjadi keburukan jika disampaikan di waktu dan di tempat yang kurang tepat.

Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah memberikan arahan kepada kita terkait pertanyaan yang harus kita jauhi karena tercela. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah yang mengandung beberapa hal:

  1. bertanya perihal sesuatu yang tidak dibutuhkan,
  2. bertanya perihal sesuatu yang ghaib yang syariat hanya meminta untuk mengimaninya saja,
  3. memperbanyak bertanya perihal sesuatu yang tidak penting, dan
  4. bertanya dengan tujuan bertengkar dan berdebat.

Kedua

Awal mula Allah Azza wa Jalla memperlihatkan kesalahan Bani Israil dalam kisah ini adalah tatkala dengan mudahnya mereka menyanggah perintah Allah Ta’ala dengan mengatakan, “Apakah engkau hendak menjadikan kami sebagai ejekan?”.

Padahal mereka sendiri yang bertanya dan berharap agar Allah memperlihatkan siapa pembunuhnya. Mereka menganggap bahwa perintah menyembelih sapi tidak ada kaitannya dengan kasus pembunuhan. Mereka lupa kalau Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Pertanyaan mereka ini sekaligus mencerminkan kurangnya kepercayaan mereka terhadap sang pembawa risalah, nabi Musa alaihis salam, ketidakpercayaan terhadap seseorang yang kepadanya mereka bertanya adalah bukti buruknya sifat mereka.

Nabi Musa alaihis salam adalah utusan Allah Ta’ala yang melalui perantaranya telah berkali-kali menyelamatkan mereka dari kezaliman dan kehinaan di dunia. Nabi Musa alaihis salam juga berkali-kali memperlihatkan mukjizat kebenaran risalahnya di depan mereka. Beliau adalah sang guru sekaligus sang penuntun kaumnya yang seharusnya mereka percayai.

Namun kenyatanya tidak demikian. Mereka tetap mempertanyakan apa yang disampaikan nabi Musa alaihis salam. Kurangnya kepercayaan terhadap sang guru merupakan perangai buruk yang pasti akan mengurangi bahkan menghilangkan keberkahan ilmu.

Imam Burhanul Islam az-Zarnuji dalam kitabnya menyampaikan.

فمن تأذّى منه أستاذه يحرم بركة العلم ولا ينتفع بالعلم إلا قليلا

Siapa yang menyakiti gurunya maka akan dihilangkan keberkahan ilmunya dan ilmu yang telah dipelajarinya tidak akan bermanfaat baginya kecuali sedikit”.

Maka seyogyanya setiap orang yang ingin menambah ilmu hendaknya bersikap tawadhu’ dan menerima apa yang disampaikan sang pemilik ilmu. Bagi thalibul ilmi tidak seharusnya berprasangka buruk kepada gurunya bahkan jikalau terbesit rasa curiga harus segera dihilangkan sehingga apa yang disampaikannya dapat dengan baik dicerna dan menjadi kebaikan untuknya.

Ketiga

Salah satu hal yang penulis anggap menarik dalam kisah ini (surat al-Baqarah ayat 67 - 73) adalah terkait susunannya ayatnya. Allah Ta’ala membuka kisah dengan menceritakan sebuah perintah kepada Bani Israil untuk menyembelih sapi.

Allah Azza wa Jalla tidak menyebutkan sebab kejadiannya. Tiba-tiba Bani Israil diminta menyembelih sapi betina, tujuan penyembelihan juga tidak disebutkan. Ayat-ayat berikutnya, 68, 69 dan seterusnya hanya menyebutkan bagaimana tabiat mereka terhadap perintah Allah ini. Baru pada ayat ke-72 dan 73 Allah Ta’ala menyebutkan sebab kejadian dan tujuan penyembelihan sapi.

Bagi para penikmat Al-Quran, rangkaian ayat demi ayat, pembahasan demi pembahasan yang disajikan Al-Quran secara runut akan memunculkan keindahan tersendiri.

Bagi yang belum mendengar kisah ini. Belum pernah mengetahui penyembelihan sapi ini. Kemudian ia membaca surat al-Baqarah dengan penuh tafakkur dan tadabbur di setiap ayatnya. Ketika tiba sampai pada ayat ke-67 apa yang akan terjadi?

Tentu ia akan bertanya-tanya, “Kenapa Allah perintahkan mereka menyembelih sapi?”.

Mungkin jawabannya ada di ayat selanjutnya. Ternyata tidak demikian, ia diajak melihat lebih detail, ayat demi ayat, bagaimana tabiat buruk Bani Israil.

Rangkaian ini (menurut penulis) adalah sebuah keindahan tersendiri dalam menunuturkan kisah ini.

Pembaca diajak ikut serta merasakan apa yang Bani Israil rasakan ketika perintah penyembelihan datang. Ada kasus pembunuhan tetapi perintah yang datang adalah penyembelihan. Sama-sama penasaran. Bedanya mereka menyangkal sedangkan pembaca mudah-mudahan tidak berpikir demikian.

Maka jika ia bersabar. Ia membaca ayat demi ayat secara lapang dada. Diujung pasti menemukan jawabannya. Sebagaimana di akhir penggalan kisah ini disebutkan hikmah dan tujuan penyembelihan sapi.

Karena itu sabar atas apa yang Allah perintahkan adalah sebuah keharusan. Kesabaran atas apa yang Allah tetapkan pasti berbuah indah dan berakhir dengan kebaikan yang tidak akan terpikirkan oleh benak kita.

Wallahu Ta’ala A’lam

lanjut baca