“Komunikasi yang baik menghadirkan prasangka yang baik. Komunikasi yang baik selalu mengedepankan cek dan ricek sebelum berkomentar. Kritis itu boleh, asalkan pada tempatnya. Tegas itu harus, asalkan pada porsinya. Begitulah Nabi kita mengajarkan. Jangan pernah menghakimi sesuatu jika tak memiliki kompetensi di dalamnya. Jernihkan hati saat berinteraksi, agar tak ada yang tersakiti gara-gara komunikasi setengah hati.” (Kang Djalal)
Awan mendung masih saja menyelimuti Israel sejak gemuruh badai menerjang Tel Aviv dan sekitarnya 7 Oktober kemarin. Hingga memasuki hari ke 45 lebih badai belum menampakkan tanda-tanda akan berlalu, yang ada justru semakin besar dan dahsyat. Ya..Badai Aqsha telah mengguncang “singgasana” Israel dengan goncangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Hegemoni dan kepalsuan yang digembor-gemborkan seakan tersingkap tanpa cela. Ketakutan demi ketakutan akan kehancuran telah merasuki dalam sanubari mereka pada titik yang tak bisa digambarkan. Berharap badai ini menyapu mimpi kosong mereka sampai ke akar-akarnya.
Tapi tahu tidak, ternyata ada badai yang tak kalah dahsyatnya dari badai Aqsha yang menjadi momok mengerikan Zionis Israel. Badai yang acapkali menyulut perselisihan jika tak disikapi dengan bijak. Badai yang seringkali menjadi alasan runtuhnya keutuhan suatu bangsa. Hmm..Mau tahu ?! BADAI LISAN NAMANYA.
Kata sebagian orang: “Lisan (lidah) memang tak bertulang. Sekali kita gerakkan, sulit untuk kembali pada posisi semula.”
Lisan merupakan bagian tubuh yang tak bertulang dan paling elastis sehingga dengan mudah bisa berkata apapun. Lisan, dapat membawa diri menjadi pribadi yang baik namun seketika juga dapat membawa diri pada malapetaka. Lisan yang tidak dijaga dengan baik dapat melukai perasaan banyak orang. Betapa banyak permusuhan dan perselisihan berawal dari tergelincirnya lisan
Banyak orang merasa bangga dengan kemampuan lisannya (lidah) yang begitu fasih berbicara. Bahkan tak sedikit orang yang belajar khusus agar memiliki kemampuan bicara yang bagus. Ya, memiliki kecakapan dalam bertutur kata merupakan keistimewaan yang tak banyak dimiliki oleh semua orang. Kemampuan untuk meracik dan meramu kata agar indah dan mudah dipahami sangatlah penting terutama mereka para da’i dan guru. Seorang pemimpin juga harus memiliki lisan yang baik agar statement yang disampaikan tidak mudah melukai hati rakyatnya.
Namun kenyataannya banyak dijumpai mereka yang begitu fasih dalam bertutur kata justru menyalahkan kelebihannya tersebut. Mereka menggunakan untuk membenarkan kesalahannya dan menyalahkan orang lain yang tak sepaham. Dan ternyata memang benar rusaknya suatu negeri disebabkan dua hal: TIDAK MAU MENGAKUI KESALAHAN SENDIRI DAN MUDAH MENYALAHKAN ORANG LAIN.
Lebih-lebih di zaman hari ini banyaknya berita hoax yang bertebaran entah untuk sekedar main-main atau ingin menjatuhkan wibawa orang lain. Padahal islam sangat melarang menyebarkan berita yang tak jelas asal usulnya.
Bahkan sebagian ahli ilmu mengatakan: “ketika terjadi suatu bencana akan banyak orang yang berkomentar tanpa ilmu, hakikatnya mereka bukan mencari solusi tapi justru memperkeruh masalah maka jagalah lisanmu dan jangan ikut-ikutan berkomentar.”
Medsos di zaman sekarang pun memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Namun sayangnya, banyak sekali medsos sekarang ini berisi sampah berupa berita-berita hoax yang tidak jelas sumbernya sehingga menimbulkan kekacauan dan kegaduhan. Banyak orang menggunakan medsos hari ini untuk menyerang dan “menguliti” kekurangan orang lain, mengekspos kekurangan lembaga orang lain, untuk apa ? agar semua orang tahu aib dan kebobrokannya. Padahal kita tahu apa yang didengar belum tentu sama dengan apa yang dilihat. Kalau sudah seperti ini siapa yang disalahkan ?!
Tidak semua masalah harus diumbar dan diekspos di medsos. Tidak semua orang harus tahu permasalahan antara dia dan kamu agar tak menimbulkan prasangka-prasangka yang kelewat batas. Agar tak bermunculan komentar-komentar negatif yang berseliweran. Bukankah begitu seharusnya seorang muslim ?
Ibnu Baadis mengatakan, “Tidak semua yang kita dengar dan kita lihat harus diyakini oleh hati-hati kita, namun hendaknya kita mengeceknya dan memikirkannya secara matang. Jika memang terbukti dengan bukti nyata maka kita mempercayainya, namun jika tidak maka kita meninggalkannya.” (Ushul Hidayah hlm. 97)
Berkata Abu Qilabah rahimahullah: “Jika sampai kepadamu berita tentang tindakan saudaramu yang tidak engkau sukai, maka berusahalah mencarikan udzur (berbaik sangka) kepadanya semampumu. Jika engkau tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah pada dirimu sendiri: “Mungkin saudaraku itu mempunyai alasan yang tidak aku ketahui'.” (Hilyatul Auliya : 2/285)
Diam dan menahan lisan (لزوم السكوت) di zaman fitnah adalah sunnah salafunas saleh. Diam dan tidak mudah berkomentar pada hal yang bukan kapasitasnya adalah bagian dari agama yang hanif ini. Karena orang yang banyak bicara, berkomentar pada peristiwa tertentu pada hakikatnya bukan sedang mencari solusi, tapi ia sedang melawak.
Seperti kata para pendahulu kita: “Kalau anda selalu memikirkan komentar orang, kelak anda bakal jadi ‘tawanan’ mereka”. Maka diamlah pada berita yang masih simpang-siur. Jangan ikut campur dengan komentar kita yang justru merusak dan menimbulkan fitnah.
Jangan gunakan lisan yang tak bertulang ini untuk hal-hal yang remeh yang justru melemparkan kita ke dalam api neraka. Jangan gunakan tangan-tangan ini untuk menulis komentar dan kritikan yang asal-asalan agar tak berujung kontroversi. Sikapilah berita-berita yang kita dengar dan baca di medsos dengan Bashirah dan tabayyun sebelum berkomentar. Jangan pernah berkomentar kalau tak yakin akan kevalidannya agar tak asal tunjuk hidung orang lain. Berkomentarlah sesuai kapasitas ilmunya dan tak lebih agar tak terjatuh pada ghibah dan merusak kehormatan orang lain.
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ ، أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
“Barangsiapa yang berbicara tentang diri seorang mu'min yang itu tidak ada padanya; maka Allah akan menempatkannya di Radghah Al Khabal. Kecuali ia bertaubat dari pernyataan tersebut.” (Shahih Al Jami', 6196) HR. Abu Dawud (3597), Ahmad (5385), Al Hakim (2222)
Radghah Al Khabal diterangkan maknanya dalam Fathul Wadud:
والأقرب أن يراد بالخبال العصارة، والردغة الطين الحاصل باختلاط العصارة بالتراب
“Pendapat yang paling mendekati ialah yang dimaksud dengan ‘Khabal’ cairan yang keluar dari penduduk neraka (berupa nanah maupun darah penghuni neraka). Sedangkan Radghah ialah lumpur yang berasal dari tercampurnya cairan penduduk neraka tadi dengan tanah.” ('Aunul Ma'bud, 10/5)
Yang artinya, ia akan berada di tempat yang menyiksa (neraka) lagi hina (Radghah Al Khabal) sebagai balasan dari fitnah yang ia lakukan untuk menjatuhkan seorang muslim di dunia.
Seorang mukmin sejati tidak takut pada kritikan, asalkan kritikan itu pada tempatnya, berbobot dan untuk perbaikan bukan kritikan yang merendahkan, dan bukan kritikan yang menghakimi. Kebebasan berekspresi hari ini banyak disalah artikan. Sebagian menganggap bolehnya mengkritik seseorang dengan media apapun, dengan cara apapun bahkan meski harus mengolok-oloknya ditempat umum (medsos). Na’udzubillah min dzalik
Jangan asal “menghakimi” suatu kelompok, organisasi, agama tertentu apalagi hanya didasari hasad dan kebencian. Seharusnya semakin berilmu semakin menyejukkan, bukan malah membuat kegaduhan. Jangan asal tunjuk hidung jika hanya sekedar mencari sensasi sesaat. Orang bodoh adalah orang yang tak bisa menjaga lisannya, tak mau berpikir sebelum berucap, yang ada ujung-ujungnya ia meminta maaf atas kebodohannya. Terkadang kebencian yang tak beralasan membuat hati seseorang gelap dan lupa bahwa ia pernah belajar, mendapatkan kehormatan dari apa yang ia tuduhkan.
Jika seorang ustadz, guru bisa salah maka seorang pemimpin pun juga bisa salah, kewajiban kita mengingatkan dan menasehati jika diterima alhamdulillah jika tidak ucapkanlah takbir. Mari bersama-sama menjaga negeri ini dari orang-orang yang tak bertanggung jawab, yang merongrong negeri ini dari ulah para buzzer tak berilmu yang menginginkan negeri ini rusuh dan saling bertikai.
Guru kami pernah menasehati kami pentingnya menjaga keikhlasan dan memperbaiki hati sebelum berdakwah, “Tidak akan pernah memperbaiki suatu kaum, hati yang kotor. Hati yang diselimuti kebencian, sekalipun dia memiliki titel yang tinggi.”
Wa Allahu A’lam Bisshawab