Sebuah pertanyaan besar yang seharusnya kita tahu jawabannya, sebuah pertanyaan yang bahkan orang-orang mencari jawabannya dengan jalan yang salah, dengan jalan yang bahkan tidak bermanfaat, melakukan sesuatu yang menjadikan hatinya senang walau sebenarnya hatinya kosong, risau, galau, hati yang telah tersesat tak tahu ke mana ia akan pergi. Hati yang mencari kebebasan tetapi sebenarnya dalam kesempitan, hati yang ingin mencari pencerahan tetapi sebenarnya dalam kegelapan. Mengapa? Karena ia tidak tahu, untuk apa sebenarnya ia hidup di dunia, untuk apa ia diciptakan di dunia, dan apa tujuan ia sebenarnya?
Kita semua hidup di dunia bukan tanpa sebab. Apakah kita mengira kita hidup tanpa ada pertanggungjawaban dan dibiarkan begitu saja? Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa sebab, tanpa tujuan, atau tanpa pertanggungjawaban. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al-Qiyamah: 36).
Maka, kita punya tujuan, kita punya tugas. Sebagaimana manusia membuat segala sesuatunya untuk tujuan tertentu, apakah manusia membuat lampu tanpa tujuan? Tentu ia punya tujuan, tujuannya adalah untuk pencerahan di saat kegelapan.
Apakah manusia membuat sandal jepit tanpa tujuan? Tentu ia punya tujuan, tujuannya adalah untuk melindungi kaki dari sesuatu yang dapat melukai kakinya. Kalau saja sandal jepit punya tujuan, mengapa kita sebagai manusia tidak punya tujuan? Jika saja kita hidup tanpa tujuan, maka kita tak lebih baik dari sebuah sandal jepit.
Lalu, apa tujuan hidup kita? Untuk apa kita diciptakan? Tentu Allah tidak akan membiarkan makhluk-Nya kebingungan dalam mencari jawaban, oleh karenanya Allah telah memberikan jawaban dengan secara jelas di dalam Al-Qur'an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56).
Apakah yang dimaksud dengan “IBADAH”? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan definisi terbaik untuk kita, beliau Rahimahullah berkata:
Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tersebut, bisa kita jabarkan apa-apa yang dicintai dan diridhai Allah dari A-Z. Karena hal ini mencakup seluruh syariat Islam, mari kita mulai dari perintah Allah dan Rasul-Nya seperti sholat, puasa, zakat, haji jika mampu, bersedekah, berkata yang baik dan jujur, memberi salam, sabar, tawadhu, qona’ah, berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada kerabat, berbuat baik kepada tetangga, memberi makan fakir miskin dan anak yatim, dan seterusnya yang berhubungan tentang perintah Allah dan Rasul-Nya.
Lalu, mari kita hubungkan tentang menjauhkan larangan-Nya seperti menjauhkan dari durhaka kepada kedua orang tua, menjauhkan dari sifat kikir, sombong, berbuat buruk, khianat, berdusta, berbuat curang, menjauhkan diri dari mengambil harta anak yatim, menjauhkan dari memakan harta riba, menjauhkan diri dari mencuri, berzina, berjudi, dan seterusnya yang berhubungan tentang menjauhkan diri dari larangan-Nya. Bukankah semua ini hal yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Maka siapa saja yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan bahagia, karena sesungguhnya bahagia bukan dari menjadi kaya dengan menumpuk harta untuk hura-hura, tetapi kebahagiaan sesungguhnya adalah apa yang telah disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Di surah yang sama, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS. An-Nahl: 41)
Kemudian di surah yang lain, Allah berfirman:
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Huud: 3)
Kemudian, dari Hadits Rasulullah, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kekayaan bukanlah banyak harta benda, akan tetapi kekayaan adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari – Muslim)
Dan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Barangsiapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya.” (HR. Tirmidzi)
Oleh karenanya, kebahagiaan bukan dinilai dari kekayaan, bukan pula dari jabatan atau kedudukan, tetapi kebahagiaan sesungguhnya adalah saat ia beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah tancapkan kebahagiaan yang tiada tara di dalam hatinya.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita orang yang selalu senantiasa ingat tentang tujuan kita diciptakan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjadikan kita orang yang paling bahagia di dunia dan di akhirat, dengan senantiasa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aamiin.