Masa Anak-Anak Adalah Masa Belajar Menuntut Ilmu

Artikel Mahasiswa    16 Jan 2025    7 menit baca
Masa Anak-Anak Adalah Masa Belajar Menuntut Ilmu

Mungkin terdengar aneh bila dikatakan bahwa masa anak-anak adalah masa belajar dan menuntut ilmu. Karena yang kita tahu selama ini, masa anak-anak adalah masa bermain. Dunia anak adalah dunia bermain. Ajarkan anak dengan fun learning, bermain sambil belajar dan belajar melalui bermain.

Padahal Nabi ﷺ meletakkan kaidah mendasar bahwa masa kanak-kanak adalah waktu untuk belajar dan menuntut ilmu. Hal ini diwariskan dari generasi ke generasi. Mendorong para orang tua untuk mengajarkan anak-anak mereka menuntut ilmu dan mencintai para ulama, karena “menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim”, baik dewasa maupun anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Menuntut ilmu adalah ibadah terbaik yang digunakan sebagai media seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Rabbnya. Oleh karena itu, masa kanak-kanak adalah masa paling subur untuk pembentukan ilmu dan pemikiran.

“Barang siapa yang belajar Al-Qur’an di masa mudanya, niscaya Al-Qur’an akan bercampur dengan daging dan darahnya. Dan barang siapa yang belajar Al-Qur’an di masa tuanya dengan tingkat kesulitan yang tinggi, namun dia tidak meninggalkannya, maka dia mendapatkan pahala dua kali.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Ad-Dailami, dan Al-Hakim)

Ibnu Abbas mengatakan, “Barang siapa yang dapat menghafal Al-Qur’an sebelum mencapai baligh, maka dia termasuk orang yang mendapatkan hikmah di masa kecilnya.”

Para sahabat, tabi’in, dan ahli hadits sangat sadar bahwa aktivitas anak-anak dalam belajar memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam perkembangan pengetahuan mereka, menjadikan mereka lebih hafal dan tertancap kuat di ingatan dibandingkan seseorang yang mempelajarinya setelah dewasa.

Al-Khathib al-Baghdadi mengetengahkan beberapa kisah tentang kehidupan salafush shalih dan perhatian mereka terhadap anak-anak. Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Bawalah ke mari anak-anak muda kalian, karena mereka memiliki hati yang masih kosong dan lebih dapat menghafal apa yang mereka dengar.”

Sa’id bin Rahmat al-Ashbahi mengatakan: “Aku yang paling dahulu sampai di majelis Abdullah Ibn Mubarak di malam itu. Teman-temanku juga datang, tetapi tidak ada yang mengalahkanku. Kemudian beliau datang bersama orang-orang tua. Dikatakan kepada beliau, ‘Anak-anak kecil ini telah mendahului kita duduk di majelis ilmumu.’ Beliau menjawab, ‘Mereka lebih aku harapkan kehadirannya daripada kalian. Berapa lama lagi kalian akan hidup? Sedangkan mereka, semoga Allah memanjangkan usia mereka.’” Sa’id berkata, “Dari yang hadir malam itu, yang paling panjang usianya adalah aku.”

Al-Hasan bin Ali berkata kepada anak-anak dan para keponakannya, “Belajarlah kalian. Sebab, kalian sekarang ini adalah anak-anak kecil. Esok kalian akan menjadi orang-orang dewasa. Barang siapa di antara kalian yang tidak sanggup menghafal, silakan mencatat.”[i]

‘Atha’ bin Abi Rabah berkata kepada anak-anak, “Catatlah! Barang siapa yang tidak bisa menulis, kami akan catatkan untuknya. Barang siapa yang tidak memiliki kertas, akan kami beri dari biaya kami sendiri.”[ii]

Badi’uz Zaman al-Hamdzani mengirimkan surat kepada keponakannya untuk serius dalam menuntut ilmu. Dalam suratnya tersebut, dia katakan, “Engkau adalah anakku selama menuntut ilmu adalah kesibukanmu, madrasah adalah rumahmu, pena adalah temanmu, dan buku adalah sahabatmu. Apabila engkau tidak melakukannya, maka orang lain yang menjadi pamanmu. Wassalam.”

Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (1/103) mengatakan: “Luqman bertanya kepada anaknya, ‘Anakku, sampai di mana pelajaran yang engkau miliki?’ Si anak menjawab, ‘Aku tidak boleh membebani diriku dengan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengannya.’ Luqman berkata, ‘Anakku, tersisa satu pelajaran lagi. Duduklah di majelis ulama dan berkumpullah dengan mereka. Sebab, Allah menghidupkan hati yang mati dengan hikmah seperti menghidupkan bumi yang mati dengan air hujan.’”

“Anakku, jangan belajar ilmu karena tiga hal, dan jangan meninggalkan ilmu juga karena tiga hal. Jangan belajar ilmu untuk mendebat para ulama, berdebat dengan orang-orang bodoh, atau mencari popularitas. Jangan meninggalkan ilmu karena merasa tidak butuh, malu kepada orang lain, atau ridha dengan kebodohan.

Anakku, jangan mendebat ulama yang akibatnya engkau menganggap remeh mereka, sehingga mereka menolakmu untuk menuntut ilmu dari mereka. Jangan berdebat dengan orang bodoh, karena mereka akan melakukan kebodohan terhadapmu dan memakimu. Akan tetapi, bersabarlah terhadap orang yang tingkat pengetahuannya lebih tinggi darimu atau lebih rendah darimu. Orang yang dapat mengikuti para ulama adalah orang yang sabar terhadap mereka, selalu menemani mereka, dan menyerap ilmu mereka dengan perlahan.

Anakku, sesungguhnya hikmah itu menempatkan orang-orang miskin pada kedudukan para raja.”

Yahya bin Khalid berkata kepada anaknya, “Pelajarilah segala macam pengetahuan. Sebab, manusia adalah musuh bagi apa yang tidak diketahuinya, dan aku tidak suka engkau menjadi musuh bagi salah satu cabang ilmu pengetahuan.”

Abdul Malik bin Marwan berkata kepada anak-anaknya, “Anak-anakku, tuntutlah ilmu. Sebab, apabila kalian menjadi pemimpin, niscaya kalian akan dapat memimpin dengan baik. Dan apabila kalian menjadi rakyat, niscaya kalian dapat hidup dengan tenteram.”

Para sastrawan, penulis, orang-orang bijak, dan para ulama seluruhnya mendorong anak-anak mereka untuk menuntut ilmu di masa kecil mereka. Sastrawan Ahmad Syauqi menyeru orang tua untuk memberikan perhatian yang cukup terhadap pendidikan anak dengan harapan semoga salah satu generasi mereka dapat membuat perubahan dan menyadarkan umat ini dari tidur panjangnya:

Bisa jadi anak suatu kaum yang mereka ajari
Sebelumnya adalah racun dan penyakit menular lagi mematikan
Dia bisa menjadi kebanggaan dan manfaat bagi kaumnya
Kalau mereka biarkan, niscaya menjadi aib dan penyakit
Ajarkanlah semampumu, karena semoga suatu generasi
kelak melakukan sesuatu yang menakjubkan.

Setelah ilmu pengetahuan dan menuntut ilmu tertanam kuat dalam diri anak dan dipahami dengan baik, dia sendiri yang akan melakukannya. Dia akan sanggup memikul segala beban dalam menuntut ilmu. Dia akan begadang di malam hari untuk belajar, tanpa perlu didorong lagi oleh kedua orang tuanya.

Bermain terlarangkah?

Pembahasan di atas tidaklah menafikan bahwa anak-anak terkadang membutuhkan bermain. Bahkan terkadang sangat diajurkan bagi mereka yang memerlukan. Namun ada rambu-rambunya, ada aturannya, dan ada saatnya.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Wahai Hanzhalah! Segala sesuatu itu ada waktunya tersendiri. Andai hati kalian selalu berdzikir, tentu malaikat akan menyalami kalian, bahkan akan menyalami kalian di jalan.” (HR. Muslim)

Dalil tersebut menggambarkan bahwa segala sesuatu ada waktunya tersendiri. Ada waktu beribadah, ada waktu belajar, ada waktu bersama keluarga, dan ada waktu bermain. Dan tidaklah pernah dicampurkan antara belajar dengan bermain. Ada pun saat bermain yang mengandung pelajaran dan nasihat itu adalah sesuatu yang penting, agar segala sesuatu tidak berjalan tanpa makna, atau menjadi sia-sia.

Lantas kapan waktu bermain?

Al-Ghazali mengatakan, “Usai keluar dari sekolah, sang anak hendaknya diizinkan untuk bermain dengan mainan yang disukainya untuk merehatkan diri dari kelelahan belajar di sekolah. Sebab, melarang anak bermain dan hanya disuruh belajar terus, akan menjenuhkan pikirannya, memadamkan kecerdasannya, dan membuat masa kecilnya kurang bahagia. Anak yang tidak boleh bermain, pada akhirnya akan berontak dari tekanan itu dengan berbagai macam cara.”

Al-Ghazali menambahkan, “Hendaknya sang anak dibiasakan berjalan kaki, bergerak, dan berolahraga pada sebagian waktu siang agar tidak menjadi anak pemalas.”[iii]

Dari sini kita dapati bahwa bermain adalah boleh, terutama untuk merehatkan diri setelah belajar. Pernyataan Imam Al-Ghazali ini hanya bersifat umum bagi anak yang memang suka bermain, yaitu memberikan ruang dan waktu tersendiri untuk bermain. Apabila anak telah tentram jiwanya dan tidak suka bermain, maka hendaknya orang tua mengarahkan potensinya untuk menyelami dunia ilmu. Sebagian besar ulama mengalami hal semacam ini. Mereka lebih suka belajar daripada bermain. Hal semacam ini merupakan hal yang biasa dalam sejarah Islam karena mereka sudah merasakan betapa nikmatnya ketika Allah turunkan ilmu ke dalam hatinya.

Asy-Syaikh Yasin bin Yusuf al-Murakisyi bercerita tentang Imam Nawawi rahimahullah: “Aku melihatnya pada usianya yang mencapai sepuluh tahun di desa Nawa. Anak-anak lain tidak suka bermain dengannya. Dia sendiri juga tidak suka berkumpul bersama mereka. Dia suka menangis apabila mereka memaksanya untuk ikut bermain. Dalam keadaan seperti itu, dia membaca Al-Qur’an. Maka dalam hatiku, aku mencintainya. Bapaknya mempekerjakannya di toko. Tetapi, dia hanya menyibukkan diri dengan Al-Qur’an dan tidak sibuk dengan aktivitas jual-beli. Aku pun mendatangi gurunya dan aku menasihatinya. Aku katakan, ‘Ada harapan anak ini akan menjadi ulama terpandai dan paling zuhud di zamannya. Orang-orang akan banyak mendapatkan manfaat darinya.’ Dia bertanya, ‘Apakah engkau ini ahli nujum?’ Aku jawab, ‘Tidak, Allah yang telah mengilhamkannya padaku.’ Hal itu pun dia sampaikan kepada bapaknya. Si bapak lalu memberinya kesempatan penuh untuk belajar agama. Dia dapat menghafalkan Al-Qur’an di usia mendekati baligh.”[iv]

_____________________

Ditulis Oleh Rudy Romansyah (Mahasantri Akademi Guru Al Fatih Angkatan 2)

*

Referensi:

[i] Dikutip dari kitab al-kiayah fi ‘ilmi ar-riwaah, karya al-Khatib al-Baghdadi, hal. 29

[ii] Al muhaddits alfashil, hal.3

[iii] Ihya ‘Ulumud Din: III/163 di nukil dari Jamal Abdurrahman, Athfalul Muslimin Kaifa Rabhumun Nabiyyun Amin, terj.Agus Suwandi (Solo: AQWAM, 2010), hal. 108.

[iv] Ath-Thabawat al-Kubra (8/396), karya as-Subki. Di nukil Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Manhaj At-Tarbiyah An-Nabawiyah, terj.Farid Abdul Aziz Qurusy (Yogyakarta: Pro-U Media, 2010), hal. 341

lanjut baca