LEGOWO TANPA PAMRIH

Artikel Dosen    08 May 2024    4 menit baca
LEGOWO TANPA PAMRIH

Ditulis oleh Ustadz Djalal Abu Fahd, Lc

 

Patah hati memang bukan satu hal yang mudah diobati. Patah hati tak muluk tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Patah hati terkadang melanda saat harus menerima sesuatu yang tak pernah terbetik dalam hati. Patah hati itu memang  berat. Tapi, jika selalu ditanamkan dalam hati, bahwa segala sesuatu yang menjadi pilihan serta kehendak Allah Ta’ala adalah yang terbaik untuk kita, maka hati pun akan Ikhlas dan legowo menerima. Belajar ridha ketika menerima dan ikhlas ketika melepas.

Hiruk-pikuk pilpres telah usai menyisakan janji-janji manis selama kampanye. Keputusan MK pun sudah diketok palu, sengketa dan praduga selama pilpres sudah diputuskan. Keputusan yang seakan menegaskan bahwa proses pilpres sudah selesai dan sudah nampak paslon terpilih yang akan menduduki kursi jabatan pemerintahan. Terlepas dari bagaimana pemilihan itu berlangsung (entah curang atau memang benar-benar jujur), maraknya pendakwah agama yang menjual agamanya demi terwujud cita-cita si empunya, belum lagi menyoal kampanye dengan berbagai janji dan sumpah serapah, penodaan terhadap agama, uang pelicin dan berbagai dunia hitam dibalik perayaan pilpres versi demokrasi.

Memang, ketika ambisi telah di ubun-ubun, segala cara bisa ditempuh untuk mendapatkannya, meskipun agama menjadi taruhannya. Sampai seorang ulama berkata bahwa syahwat terhadap jabatan lebih menggoda daripada syahwat terhadap harta. Benarlah sabda Nabi,

“Bahaya dua ekor serigala lapar yang dilepas kepada seekor kambing itu tidak lebih besar dari bahaya ambisi harta dan kehormatan terhadap agama seseorang.” (HR. Tirmidzi)

Betapa mengerikan nasib agama seseorang yang digambarkan Nabi tersebut. Bagaimana nasib domba yang dikeroyok oleh dua serigala lapar, masih mungkinkah ia akan selamat? Begitulah permisalannya, ambisi jabatan dan gila kehormatan, keduanya mampu merontokkan iman dari akarnya melebihi terkaman dua serigala pada seekor domba.

Orang yang dulu memilihnya (mencoblosnya) pun tidak akan bisa berharap lebih dari pemimpin yang mengawali karirnya dengan kecurangan dan ambisi untuk meraih kehormatan. Karena mereka tidak memahami kepemimpinan sebagai amanah. Tetapi sebagai ajang untuk menunjukkan kehebatan dan kehormatannya.

 

LEGOWO YUKK

Kata “legowo” banyak disebut belakangan ini. Kata itu berasal dari bahasa Jawa yang bermakna ikhlas atau berbesar hati menerima keadaan apa pun, termasuk menerima kekalahan.
Dalam bahasa Indonesia, legowo bisa diartikan sebagai lapang dada dan bersikap ksatria, mau mengakui keunggulan lawan. Singkatnya, legowo adalah sikap ksatria menerima kekalahan dengan berjiwa besar.

Sikap ini bisa melekat pada seseorang jika sedari kecil sudah diajarkan untuk bisa menerima kekalahan dan kekecewaan. Harus dibangun kesadaran bahwa tak selamanya anak bisa mendapat apa yang diinginkan. Berusaha secara maksimal memang harus, tapi perlu diingatkan bahwa  hasilnya bisa bermacam-macam.

Anak harus siap menerima kekalahan. Berani main bola, harus berani menerima kalau gawangnya kebobolan dan timnya kalah. Kalau sikap ini tidak ada, yang muncul malah menyalahkan wasit atau teman sendiri. Bisa juga berujung tawuran dengan pemain lawan. Sikap legowo ini akan terbawa hingga dewasa nanti. Saat kita melanggar aturan, kita legowo berintrospeksi. Siapapun harus belajar bahwa tidak selamanya seseorang berada dalam satu keadaan. Ada masanya seseorang harus terbiasa dengan hangatnya kemenangan, namun ada masanya ia harus merasakan dinginnya kekalahan.

Dalam hubungan suami-istri bukan tentang siapa menang dan siapa kalah. Siapa  kuat  dan siapa lemah. Tapi bagaimana saling legowo agar sama-sama mendapatkan kemenangan. Itu kunci keharmonisan pasangan suami isteri.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pun juga demikian. Butuh kelapangan hati dan sikap legowo saat keputusan tak sesuai harapan. Terlebih, negeri ini baru saja menyelesaikan hajatan besarnya memilih pemimpin untuk lima tahun kedepan. Proses yang rumit nan sulit sudah dilalui, kontroversi akan selalu menyertai selama tujuanya adalah untuk memuaskan hawa nafsu kekuasaan. Kecewa bercampur sedih sudah pasti, tapi inilah kompetisi ada yang menang dan kalah jangan dibawa marah.

Ada satu kaidah penting dalam kehidupan, 

الأمور لا تبقى على حال

“Segala sesuatu tidak akan bertahan pada satu keadaan.”

Sekarang tersenyum, lima menit kemudian bisa cemberut. Sesaat yang lalu masih tertawa, sekarang telah tiada.

Keadaan manusia mesti akan berubah. Jika sekarang senang, esok bisa bersedih. Sekarang susah, besok bahagia. Allah pergilirkan suka dan duka, menang dan kalah, berkuasa dan dikuasai.

 

إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ  وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ  وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ 

“Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zhalim.” (QS. Ali-Imran : 140).

 kemudian

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 6)

 

Jelas sekali ayat-ayat ini menunjukkan bahwa kejadian di dunia ini akan berubah-ubah. Tidak ada yang abadi. 

Maka dari  itu, jangan pernah berbangga dan merasa aman dengan kekayaan dan kekuasaan, karena esok, boleh jadi akan hilang. Jangan pula bersedih dengan kemiskinan dan cobaan, karena kemudahan setelah kesusahan adalah kepastian (bagi mereka insan bertakwa).

Ada yang namanya Sunnatullah. Hukum Allah yang akan selalu berulang dan tak akan pernah berubah. Kalau mau menang ya ada syaratnya, dan kenapa bisa kalah pasti ada sebabnya.

Inilah salah satu pentingnya belajar sejarah, memberitahu kita apa syarat yang membuat Madinah menjadi kota sehebat itu, membuat Saifuddin Qutuz dengan gagah berani mengusir dan mencabik-cabik hegemoni mongol saat itu, membuat Muhammad Al Fatih membuka gerbang Konstantinopel.

Agar kita belajar pula, mengapa Baghdad yang keren abis itu bisa hancur, mengapa Andalusia yang indah dan cantik itu bisa musnah tak tersisa, mengapa Utsmani yang menaungi 3 benua itu bisa hilang dari peta. Ada Sunnatullah yang berjalan dalam kehendak-Nya, bukan kebetulan !!

 

KAMULAH PEMENANGNYA !

Tetap legowo yang berbesar hatilah. Ambisi dan kekuasaan tanpa dibarengi iman dan ilmu hanyalah kebinasaan.

Imam al-Ashma'iy rahimahullah berkata, seorang Arab Badui pernah berpesan kepada anaknya:

يَا بُنَيَّ ، إِنَّ الْغَالِبَ بِالْشَر، هُوَ الْمَغْلُوْب

“Wahai anakku, sesungguhnya seorang yang menang dengan cara yang buruk, pada hakikatnya dia kalah.” (Imam Ahmad, al-'Ilal wa Ma'rifah ar-Rijal, hlm. 301)

 

Wa Allahu A’lam Bisshawab

 


REFEENSI:

  • Majalah arrisalah

lanjut baca