Saat itu beberapa orang berkumpul di dekat seorang lelaki tua yang sudah nampak tidak kuat menahan penyakit yang dideritanya. Terdengar dari balik kerumunan, suara sayup-sayup yang penuh harapan, "Wahai pamanku ucapkanlah La Ilaha Illa Allah agar kelak aku bisa berhujjah di hadapan Allah !".
Tiba-tiba, datang suara keras memotong kalimat tersebut, "Wahai Abu Thalib, tidakkah engkau malu kalau engkau keluar dari agamamu? Tidakkah engkau segan akan mendustakan kakek buyutmu? Bencikah engkau dengan agama Abdul Muthallib?".
Bimbang dengan permintaan dan pertanyaan tersebut, apakah menolak keinginan dari keponakan tercintanya ataukah meninggalkan keyakinan yang selama ini dianut oleh bapaknya, kakeknya dan sukunya. Rasa segan dan tidak enak terhadap kaumnya tetap membayang-bayangi pikirannya.
Sayangnya waktu tidak membiarkan hal ini berlarut-larut, harus ada kepastian, harus ada ketetapan untuknya. Kafir ataukah non kafir?
Berlinanglah air matanya saat mengetahui paman yang sudah ia anggap sebagai ayahnya, paman yang selalu membela dan menolongnya dari berbagai kebengisan sukunya berakhir dengan perbedaan keyakinan dengannya.
Akhirnya, dengan segala kemuliaan dan pangkat yang dimilikinya, ia bertekad tidak akan menyerah untuk memohonkan ampun baginya, ia akan terus memintakan rahmat bagi paman yang sangat disayanginya tersebut.
وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ
“Demi Allah akan aku mohonkan ampun untukmu wahai pamanku selama aku tidak dilarang”
Namun tidak demikian dengan ketentuanNya , selama seseorang tidak melafazkan dan meyakini sendiri kalimat tersebut, maka selamanya Dia tidak akan menerimanya. Turunlah perintah untuk menghentikan usahanya.
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْٓا اُولِيْ قُرْبٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحٰبُ الْجَحِيْمِ ١١٣ ( التوبة/9: 113)
Tidak ada hak bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik sekalipun mereka ini kerabat(-nya), setelah jelas baginya bahwa sesungguhnya mereka adalah penghuni (neraka) Jahim. (At-Taubah/9:113)
Begitulah kalimat tersebut bekerja, seperti itulah gambaran pentingnya kalimat itu bagi manusia. Bahkan karena saking bernilainya, seorang makhluk yang paling mulia dan paling dekat denganNya pun tetap tidak memiliki kuasa atasnya.
Kalimat itu berbunyi:
لا إله إلا الله
“Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Allah.”
Sebuah kalimat sederhana dan mudah pengucapannya, sederhana karena hanya ada 4 kata dan mudah karena hanya terdiri dari 3 jenis huruf hijaiyah dan untuk mengucapkannya pun cukup dengan menggunakan gerakan lidah.
Keistimewaannya Dalam Hadits
Banyak sekali riwayat-riwayat mengenai keutamaan kalimat ini. Salah satunya adalah sebagaimana yang diceritakan oleh Sahabat Abu Dzar saat menemui beliau yang kala itu baru bangun dari tidur, beliau bersabda:
ما من عبد قال لا إله إلا الله ثم مات على ذلك إلا دخل الجنة (رواه البخاري)
“Tidaklah seorang hamba mengucapkan kalimat 'La Ilaha Illa Allah', kemudian meninggal dalam keadaan tetap dengan kalimat tersebut, maka dia pasti masuk surga”.
Begitu pula dengan riwayat yang disampaikan Sahabat Abu Hurairah saat bertanya kepada Nabi tentang orang yang paling bahagia dengan syafaat beliau , beliau menjawab:
أسعد الناس بشفاعتي يوم القيامة من قال لا إله إلا الله خالصا من قلبه أو نفسه (رواه البخاري)
“Orang yang paling bahagia dengan syafaatku pada hari akhir kelak adalah orang yang berkata 'La ilaha illa Allah' murni keluar dari hatinya atau dirinya”.
Keunikan Kalimat Tauhid
Kalimat Tahlil atau Tauhid ini (La ilaha illa Allah) juga ternyata adalah kalimat unik kalau dilihat dari segi pemilihan dan penyusunan hurufnya.
Imam Muhammad bin Musa Ad-Damiri As-Syafi'i (w 808 H) pernah menyebutkan di dalam kitab syarahnya, An-'Najmu Al-Wahhaj Fi Syarhi Minhaj' tentang rahasia dan keunikan kalimat tersebut.
Yang pertama, kalimat tersebut ternyata seluruh hurufnya adalah huruf Jaufiyah (huruf yang terletak di bagian dalam) tidak ada yang di luar (bibir).
Lam, Alif, dan Ha' adalah huruf-huruf yang pengucapannya ada di bagian dalam tubuh. Hikmahnya apa?
Ini menandakan bahwa kalimat tersebut tidak cukup jika hanya diucapkan oleh anggota tubuh yang dhahir (lisan) saja, harus juga disertai dengan sesuatu yang ada dalam diri manusia yaitu hati yang ikhlas. Jadi, antara dhahir (lisan) dan bathin (hati) harus seirama saat mengucapkan kalimat tersebut.
Yang kedua, huruf-huruf yang ada pada kalimat ini semuanya Muhmalah (bebas dari titik).
Artinya apa?
Dalam bahasa Arab lawan dari huruf yang tidak bertitik disebut Mu'jamah, sedangkan titik di dalam huruf Arab adalah sebuah tambahan kepada huruf asli.
Ini menunjukkan bahwa huruf-huruf dalam kalimat tersebut mengandung unsur ketauhidan (Keesaan) yang mana hal ini adalah keyakinan dasar dalam ajaran Islam tentang Ketuhanan.
Dan yang ketiga adalah, bahwa jumlah hurufnya ada 12. Maksudnya apa?
Jumlah ini sama dengan jumlah bulan dalam satu tahun, bahkan dalam kalimat ini, kata الله adalah kata yang jumlah hurufnya ada empat. Kalau kita berbicara mengenai bulan-bulan maka diantara 12 bulan itu ada empat bulan yang lebih mulia dari bulan-bulan lain.
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذ... ٣٦ ( التوبة/9: 36)
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram... (At-Taubah/9:36)
Subhanallahi la haula wa la quwwata illa billah.
Wallahu Ta'ala A'la wa A'lam
Ditulis oleh Hamam Zaky