Haruskah Menjadi 'Guru'?

Artikel Mahasiswa    08 Jan 2025    5 menit baca
Haruskah Menjadi 'Guru'?

Mungkin bagi sebagian orang, menjalani profesi sebagai guru bukanlah pilihan utama. Apalagi di zaman yang sangat mengagungkan materi (baca: harta) seperti hari ini. Menjadi seorang guru biasanya menjadi pilihan terakhir setelah seseorang mencoba berbagai bidang pekerjaan yang dianggap mampu mencukupi kebutuhan hidupnya secara lebih layak. Pandangan seperti ini bukanlah hal yang salah, sebab kebutuhan hidup manusia adalah hal yang utama, dan tercukupinya kebutuhan hidup merupakan kunci untuk memperoleh kebahagiaan. Dan kebahagiaan adalah tujuan dari setiap manusia di muka bumi ini.

Lihatlah hari ini, hanya untuk sekadar memenuhi kebutuhan hatinya (baca: bahagia), sebagian manusia rela berjalan dalam gelapnya malam yang dingin menuju puncak gunung hanya untuk menanti “sunrise.” Sebagian lagi rela membayar mahal demi sebuah perjalanan wisata di pulau terpencil demi mengejar “bahagia.” Bahkan, ada yang rela mengonsumsi obat-obatan yang haram dan merusak kesehatannya, juga dengan tujuan meraih “bahagia.” Naudzubillah…

Sebagai seorang Muslim, menjadi seorang guru adalah salah satu profesi yang paling banyak memberikan kebahagiaan. Mengapa demikian?

Pertama, menjadi seorang guru artinya kita akan mendapatkan gelar “manusia terbaik,” seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’” (QS. Fushilat: 33).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya mengenai ayat tersebut, “Maka para da’i (baca: guru) tersebut memberi manfaat kepada dirinya dan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bukanlah termasuk golongan ini orang-orang yang menyeru kepada yang ma’ruf tetapi tidak mengerjakannya, atau mencegah dari yang munkar tetapi ia sendiri mengerjakannya. Namun, mereka menyeru kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan, dan menyeru al-khalqu (makhluk) kepada al-khaaliqu (penciptanya) Tabaraka wa Ta’ala. Seruan ini umum mencakup siapa saja yang menyeru kepada kebaikan dan memberikan petunjuk kepada orang lain.”

Beliau rahimahullah kembali menjelaskan, “Berkata Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa beliau membaca ayat tersebut dan berkata, ‘Inilah kekasih Allah, inilah wali Allah, inilah manusia pilihan Allah, inilah penduduk bumi yang paling Allah cintai. Allah telah menerima dakwah mereka, dan mereka pun menyeru manusia kepada hal-hal yang Allah ridhai, beramal shalih, dan berkata, “Sesungguhnya kami hanyalah termasuk dari golongan orang-orang Muslim,” inilah khalifah Allah.”

Jika kita perhatikan ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin menekankan betapa pentingnya berdakwah mengajak manusia berjalan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, menjadi seorang guru yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar adalah perkataan yang terbaik dan akan mendatangkan ridho dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagai seorang Muslim, tidak ada hal yang lebih utama selain mendapatkan ridho dari Dzat yang paling dicintainya, sebab hal ini akan mendatangkan kebahagiaan yang besar bagi seorang Muslim.

Dari susunan ayatnya, sekilas ayat tersebut terbalik secara urutan. Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan berdakwah, kemudian beramal shalih, baru menyatakan diri sebagai Muslim. Idealnya adalah mengaku Muslim, beramal shalih, baru kemudian berdakwah.

Namun, sebagai orang beriman, kita harus meyakini bahwa tidak ada yang salah dalam Al-Qur’an, disebabkan ini adalah Kalamullah. Al-Qur’an selalu memiliki mukjizat dalam bertutur, para ulama menyampaikan karena ayat ini berbicara dalam konteks pentingnya dakwah. Di sini terdapat nasihat yang berharga bagi seorang guru, yaitu wajibnya bagi seorang guru ketika telah mengambil bagian dalam dakwah untuk terus menghiasi diri dengan amal shalih dan berani menyatakan diri bahwa menjadi Muslim adalah jalan yang benar.

Kedua, menjadi guru akan mendapatkan keutamaan yang sangat banyak. Dari Abu Umamah al-Baahili radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat, serta semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan (di lautan), benar-benar bershalawat/mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada manusia” (HR. at-Tirmidzi).

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang yang mempelajari ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menyebarkannya kepada umat manusia.

Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui, setelah (tingkatan) kenabian, kedudukan yang lebih utama dari menyebarkan ilmu (agama).”

Keutamaan lainnya adalah pahala yang tidak terputus, selama ilmu yang ia ajarkan terus diamalkan dan diajarkan kepada orang lain. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya akan terputus, kecuali tiga hal: shadaqah jariyyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketiga, menjadi seorang guru akan memperoleh kebahagiaan yang banyak. Di dalam Al-Qur’an, mendidik diperumpamakan seperti bercocok tanam. Ya, pertanian adalah perumpamaan yang paling tepat dengan pendidikan, di mana guru diibaratkan sebagai petani dan murid sebagai tanamannya.

Petani telah mengajarkan bagi seorang guru tentang pentingnya tawakal dan jangan bersandar pada usaha. Kita lihat bagaimana petani memulai aktivitasnya dengan menyemaikan benih, kemudian menutupinya dengan tanah. Setelah itu, ia hanya bisa bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berdoa agar benih tersebut akan menjadi tunas. Sama halnya dengan guru yang telah menyemai ilmu pada anak didiknya; selanjutnya, ia bertawakal agar ilmu tersebut tumbuh menjadi tunas (amal).

Ketika tunas itu mulai tumbuh, maka petani harus menjaganya dengan cermat. Bahkan terkadang dibutuhkan penghalau dari hama dan gulma; demikian pula seorang guru. Ketika amal itu mulai bersemi, maka dibutuhkan penjagaan yang ekstra dari lingkungan dan teman yang buruk, sampai amal itu kuat dan mampu menjaga keistiqomahannya.

Dan ketika tanaman itu telah menjadi besar dan menyenangkan hati penanamnya, maka demikianlah perumpamaan terhadap hasil pendidikan seorang guru kepada muridnya dalam menanamkan ilmu.

Dari setiap fase bercocok tanam yang dilakukan petani tersebut, akan selalu ada kebahagiaan di setiap akhirnya. Betapa bahagianya melihat biji itu bertunas, kemudian kebahagiaan itu bertambah ketika melihatnya mulai tumbuh dengan baik. Kebahagiaan itu semakin besar ketika melihatnya telah tumbuh dengan kokoh. Bahkan ketika tanaman itu belum berbuah, sudah memberikan kebahagiaan yang luar biasa. Maka begitulah ketika kita menjadi seorang guru; akan selalu ada alasan untuk berbahagia ketika melewati setiap tahapan dalam menanamkan ilmu. Bahkan kita tidak perlu menunggu sampai melihat hasil akhirnya hanya sekadar untuk berbahagia. Biidznillah…

Bersemangatlah para mujahid pendidikan, raihlah kebahagiaanmu.

____________

Tulisan ini adalah untaian nasihat dari Ustadz Budi Ashari Hafidzahullohu Ta’ala, dalam Studium General AGA 3 tanggal 15 Rabi’ul Tsani 1438 H.

-----------------

Ditulis oleh Kholis Abu Ahsan (Mahasantri Akademi Guru Al-Fatih Angkatan 2)

lanjut baca