“Tapi Aku Itu adalah Al Ghazali”
Ihya ‘Ulumuddin adalah kitab yang membahas berbagai ilmu , diantaranya ilmu Fiqih, ilmu Aqidah, ilmu Tasawuf, ilmu Akhlak. meskipun ada pro dan kontra terkait hadits-hadits yang dibawakan oleh Syaikh Imam Al-Ghazali.
Nama asli imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazaly Atthusi ‘Annisaduri. Ada 3 Muhammad, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazali Atthusi ‘Annisaduri. Beliau mendapatkan kunyah yaitu Abu Hamid. Jadi Abu Hamid, beliau adalah bapaknya Hamid. Laqabnya dikenal dengan Al Ghazali, julukannya adalah Al Ghazali, karena disandarkan ke Al Ghazal yaitu tenun. Karena ayahnya itu bekerja di bagian penenunan, beliau juga dinisbatkan juga dengan Al Ghazzali.
Perbedaan Al Ghazzali dengan ز tasydid dan Al Ghazali biasa(tanpa tasydid) :
1. Al Ghazzali dengan ز tasydid, berarti tukang tenun,
2. Al Ghazali tanpa tasydid itu dari kata nama daerah beliau adalah Al Ghazala. Itu sebuah daerah yang ada di Tush daerah Iran.
Kemudian Imam Al Ghazali mengatakan pada dirinya sendiri, "orang orang itu mengatakan tentang kepadaku Al Ghazzali (ز yang tasydid), tapi aku itu bukan Al Ghazzali (yg ada tasydidnya). Tapi aku itu adalah Al Ghazali (tanpa tasydid)."
Jadi namun menurut Ibnu Khaliqon yang lebih masyhur dikalangan kaum muslimin adalah Al Ghazzali (dengan tasydid) Jadi sering ada ulama yang seperti itu. Seperti Syeikh Al Qardhawi, beliau sendiri mengatakan bukan Al Qardhawi tapi Al Qaradhawi (pakai ر) jadi beliau sendiri membetulkan seperti itu. Begitupula dengan Imam Al Ghazali, beliau membetulkan bahwa beliau adalah Al Ghazali.
Do’a Ayah dan Tujuan Menuntut Ilmu
Imam Al Ghazali lahir di 450 H itu bertepatan dengan 1058 M jadi abad ke 5 H. Kisah kecilnya sangat luar biasa perkembangannya/pertumbuhannya. Beliau lahir yatim dan diasuh oleh teman-teman ayahnya yang ahli sufi (orang-orang sufi). Ayahnya memberikan wasiat kepada teman-temannya, untuk mengasuh Imam Al Ghazali begitu pula saudaranya yang bernama Ahmad.
Keluarga imam al ghazali fakiratal hal, keadaannya itu miskin. Karena ayahnya itu bekerja di tempat menenun asshuuf (kain wool) dan menjualnya di daerah Tush, Iran hanya dua bersaudara yaitu Abu Hamid dan Ahmad saja, beliau 2 bersaudara. Ayahnya condong kepada Sufiyah atau Tasawuf. Jadi ayahnya itu adalah sosok pemuda yang sholeh, beliau tidak makan kecuali sesuai dari kerja keras tangannya sendiri. Dan beliau itu hadir di majelis-majelis ahli Fiqih dan duduk bersama mereka, dan beliau itu melayani para Fuqoha tadi (para ahli Fiqih).
Beliau (ayahnya) banyak berdo’a kepada Allah agar Allah memberikan rezeki kepadanya seorang anak laki-laki dan menjadikan anak laki-laki itu Faqih. Makanya ini berkat doa diperinci "Yaa Allah, jadikanlah anak kami itu faqih" Dan Allah kabulkan. Maka muncullah Abu Hamid itu Imam Al-Ghazali, ulama yang paling faqih di zaman itu, bahkan di abad ke 5 H dan saudaranya, Ahmad itu menjadi Da’i yang ucapannya petuahnya itu membekas di orang-orang. Keduanya menjadi orang orang penting.
Ketika ayahnya itu mendekati wafat, beliau berwasiat kepada temannya yang ahli Tasawuf yang intinya adalah beliau mengatakan, “sesungguhnya aku itu sangat disayangkan. Aku merasa tidak mendapatkan ilmu yang diinginkan dan aku ingin anak-anakku dua ini dia mendapati apa yang aku inginkan. Kedua anakku ini, semoga mendapati apa yang tidak aku dapatkan”. Dan beliau pun berpesan, "maka ajarkanlah kepada mereka berdua, dan tidak masalah engkau memakai harta yang aku tinggalkan untuk mereka berdua."
Ketika ayah imam al ghazali meninggal, maka ahli Sufi teman ayahnya itu mengajarkan mereka berdua. Harta yang ditinggalkan itu digunakan untuk mendidik dua bersaudara itu. Ketika sudah habis harta tersebut, maka sang ahli sufi itu tidak mampu untuk memberikan Infaq kepada keduanya. Teman ayahnya itu berkata, "ketahuilah sesungguhnya aku telah memberikan Infaq kepada kalian, apa apa yang telah ada untukmu yaitu peninggalan ayahmu. Aku seorang laki laki yang fakir, aku tidak ada harta untuk menafkahi kalian. Dan yang paling maslahat (baik) yang aku lihat dari kalian berdua adalah, kalian pergilah ke madrasah. Tujuannya apa? Seakan-akan kalian adalah penuntut ilmu, sehingga kalian mendapatkan makanan yang membentuk kalian atas waktu-waktu kalian."
Lalu Imam Al Ghazali berkata, "Kami itu telah mencari ilmu tujuannya bukan karena Allah, jadi niat mencari ilmu di Madrasah itu tujuannya bukan karena Allah namun karena makanan agar bisa hidup. Maka ilmu itu tidak mau kecuali karena Allah."
Wallohu a’lam apakah beliau merendah hati atau memang hakikatnya seperti itu. Karena perkataan inilah, di kemudian harinya beliau betul-betul mencari ilmu karena Allah. Beliau ingin mengetahui hakikat ilmu karena ingin Ma'rifatullah mengenal Allah Subhanahu wata’ala.