Dalam hamparan kanvas kehidupan, jalinan antara seorang ayah dan anak terukir sebagai mahakarya terindah. Ia adalah tiang pancang yang menopang arsitektur keluarga, mengukir karakter, serta menanamkan benih-benih akhlak dan iman. Kedekatan hubungan ini umumnya terjalin melalui kasih sayang, kepercayaan, dan komunikasi yang baik. Al-Qur’an juga menyebutkan hubungan antara ayah dan anak dalam redaksi kalimat sumpah; untuk menegaskan betapa pentingnya hubungan ini, Allah ﷻ berfirman:
وَوَالِدٖ وَمَا وَلَدَ
dan demi bapak dan anaknya. [Al Balad: 3]
Namun, di tengah gemuruh hiruk-pikuk dunia modern, teknologi dan gaya hidup acap kali menjelma badai yang mengikis waktu dan merenggut ruang interaksi antara ayah dan anak. Banyak ayah yang menghabiskan waktu berjam-jam di luar rumah untuk bekerja, sehingga waktu berkualitas bersama anak menjadi sangat terbatas. Penelitian menunjukkan bahwa durasi kerja ayah yang bervariasi antara 6-12 jam per hari menyebabkan interaksi dengan anak menjadi sangat minim (Hardiningrum et al., 2024).
Di samping itu, status ayah sebagai pencari nafkah utama, dan ibu yang lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak di rumah, sering dijadikan alasan untuk membenarkan minimnya keterlibatan emosional ayah terhadap anak. Tak sedikit pula ayah yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan perangkat digital, baik untuk urusan pekerjaan maupun hiburan pribadi. Akibatnya, waktu interaksi langsung dengan anak menjadi semakin terbatas. Lebih jauh, anak-anak pun cenderung meniru pola ini, mereka larut dalam gadget dan mengurangi komunikasi dengan ayahnya (Mutiarasari et al., 2024). Implikasi dari semua ini adalah terpasungnya interaksi antara keduanya, hanya terbatas pada ruang-ruang dan tema-tema yang dianggap serius, formal, atau teramat mendesak.
Padahal, banyak hal sederhana yang yang bisa dilakukan antara ayah dan anak untuk membangun hubungan dan menjalin kedekatan emosional. Mulai dari obrolan ringan saat makan, jalan-jalan, atau saat mengisi waktu luang bersama di rumah. Tema pembicaraan tidak harus selalu bersifat serius, formal, atau dianggap mendesak, seperti pilihan sekolah, aturan dalam keluarga, dan sebagainya. Bahkan, pembahasan tentang angan-angan, cita-cita, dan mimpi yang dianggap sepele oleh sebagian orang dapat menjadi tema obrolan yang menarik.
Sejak dahulu, mimpi yang dialami oleh seseorang dalam tidurnya diyakini sebagai perwujudan dari angan dan harapan saat terjaga. Mimpi juga dipandang sebagai ekspresi dan manifestasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam nyata. Dalam Islam, mimpi memiliki makna yang jauh lebih dalam dan luas. Ia tidak hanya menjadi pantulan harapan atau kilas balik kejadian, tetapi bisa juga menjadi bagian dari wahyu serta isyarat Ilahi. Namun demikian, tidak semua mimpi berasal dari sumber yang luhur; karena sebagian mimpi merupakan gangguan dari setan yang menyesatkan dan mengacaukan jiwa.
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail
Kisah Nabi Ibrahim adalah untaian ujian keimanan dan pengorbanan yang tak terhingga, sebuah tapak tilas ketundukan hamba yang abadi. Setelah penantian panjang disertai doa-doa yang tiada henti dipanjatkan, lahirlah Ismail, putra yang saleh, buah hati yang dinanti-nantikan di usia senja. Namun, dengan hikmah yang tak terjangkau oleh akal pikiran manusia, Allah ﷻ menguji Nabi Ibrahim dengan ujian yang sangat berat: perintah untuk menyembelih putra kesayangannya. Perintah agung ini tidak datang melalui suara yang menggelegar di siang bolong, melainkan melalui bisikan suci dalam mimpi. Allah ﷻ berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". [As Saffat:102]
Mimpi yang dialami oleh para nabi adalah wahyu; kita sepakat akan hal itu. Namun, bagi seorang ayah—siapa pun itu—perintah untuk mengorbankan anak adalah ujian yang melampaui batas nalar manusia. Ibnu ‘Asyur, dalam tafsirnya At-Tahrir wa at-Tanwir, menjelaskan bahwa mimpi tersebut datang kepada Nabi Ibrahim ketika Isma’il berusia 13 tahun. Allah ﷻ memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya sebagai bentuk ujian, bukan sebagai syariat yang harus dilaksanakan. Sebab, jika perintah itu merupakan syariat, maka ia tidak akan dihapus sebelum diamalkan; penghapusan sebelum pelaksanaan akan menghilangkan hikmah dari pensyariatan itu sendiri. Hal ini berbeda dengan perintah yang bersifat ujian, yang tujuannya adalah menguji ketaatan, bukan untuk diamalkan secara hakiki.
Dengan demikian, seandainya Nabi Ibrahim tidak melaksanakan pesan yang datang melalui mimpi tersebut, hal itu tidak dapat disamakan dengan bentuk pembangkangan terhadap perintah syariat yang wajib dilaksanakan. Sebab, perintah itu bukanlah syariat yang mengikat, melainkan ujian ketundukan dan kepasrahan semata, yang tujuan utamanya adalah menampakkan tingkat keimanan dan ketaatan beliau kepada Allah ﷻ. Penjelasan tersebut menjadi jawaban atas pertanyaan: mengapa Nabi Ibrahim membuka ruang dialog dengan Isma’il?
Lebih lanjut, Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa ujian ini disampaikan melalui mimpi sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Ibrahim, agar beliau tidak dikejutkan dengan perintah menyembelih anaknya secara langsung dalam keadaan terjaga. Mimpi, sebagaimana diketahui, biasanya memerlukan penafsiran karena sering mengandung simbol-simbol tersembunyi. Dengan cara ini, ujian tersebut menjadi lebih bertahap dan sekaligus menjadi lebih ringan. Perhatikan, Allah ﷻ senantiasa menampakkan kasih sayang serta kelembutan-Nya, bahkan dalam ujian paling berat sekalipun.
Salah satu pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah ini adalah bagaimana Nabi Ibrahim membuka ruang dialog dengan sang anak. Dengan perasaan yang bergejolak, namun ketaatan tetap menancap dan kokoh di hati, Nabi Ibrahim tidak serta merta memaksakan perintah tersebut tanpa melibatkan sang anak. Beliau memilih jalur komunikasi yang paling jujur dan transparan dengan berkata, "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!".
Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa bahkan dalam perintah yang paling berat sekalipun, dialog dan keterbukaan adalah kunci untuk membangun pemahaman dan kesadaran, keeratan hubungan, serta kekuatan ketaatan. Karena sejatinya, fondasi ketaatan itu dibangun atas dasar pemahaman dan kesadaran, bukan paksaan.
Kisah Nabi Ya’qub dan Yusuf
Berbeda dengan mimpi Nabi Ibrahim, mimpi Nabi Yusuf adalah sebuah pertanda dan isyarat agung tentang takdir serta kemuliaan yang akan diraihnya di masa depan. Tanda-tanda kenabian telah tampak pada diri Nabi Yusuf sejak kecil, hingga pada suatu malam ia melihat sebuah mimpi yang luar biasa. Mimpi agung itu diabadikan dengan indah dalam lembaran-lembaran suci Al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman:
إِذۡ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ إِنِّي رَأَيۡتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوۡكَبٗا وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَ رَأَيۡتُهُمۡ لِي سَٰجِدِينَ
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku". [Yusuf:4]
Bagi seorang anak, mimpi seperti ini mungkin hanya sekadar fantasi atau gambaran indah. Namun, di hadapan Nabi Ya’qub, seorang ayah yang bijak, mimpi ini adalah sebuah isyarat yang jelas tentang kedudukan mulia yang akan dicapai oleh sang anak.
Anda mungkin bertanya, apa yang menjadi faktor utama bagi Yusuf kecil untuk bertanya atau menceritakan perihal mimpinya kepada sang ayah. Jawabannya jelas, Nabi Ya’qub sebagai ayah yang bijak mampu membangun kedekatan hubungan dengan sang anak, sehingga sang anak merasa aman dan nyaman untuk bertanya atau bercerita. Ibnu ‘Asyur menyampaikan,
“Nabi Yusuf memberitahu ayahnya tentang mimpi itu karena dia tahu melalui ilham atau pengajaran sebelumnya dari ayahnya bahwa mimpi memiliki tafsiran. Dia juga memahami bahwa bintang, matahari, dan bulan adalah kiasan untuk makhluk-makhluk mulia, dan sujudnya makhluk-makhluk mulia kepadanya melambangkan kebesaran kedudukannya. Secara keseluruhan, dia merasakan bahwa mimpinya menunjukkan kemuliaan kedudukannya, sehingga dia memberitahukannya kepada ayahnya.”
Selain perannya dalam mengajarkan bahwa mimpi memiliki tafsiran, hal manarik lainnya dari kisah ini adalah respons Nabi Ya’qub setelah mendengar cerita dari sang anak. Nabi Ya’qub tidak serta-merta menyebarkan berita gembira tersebut, justru beliau memberikan nasihat bijak kepada sang anak untuk tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya.
Berkaitan dengan hal ini, Allah ﷻ berfirman:
قَالَ يَٰبُنَيَّ لَا تَقۡصُصۡ رُءۡيَاكَ عَلَىٰٓ إِخۡوَتِكَ فَيَكِيدُواْ لَكَ كَيۡدًاۖ إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ لِلۡإِنسَٰنِ عَدُوّٞ مُّبِينٞ
Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar padamu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia". [Yusuf:5]
Di sinilah tampak peran vital seorang ayah. Sebagai sosok yang bijak dan visioner, Nabi Ya’qub mampu memberikan perlindungan sekaligus bimbingan. Nasihat yang beliau sampaikan menunjukkan kepekaan dan kebijaksanaan tingkat tinggi dalam membaca situasi serta mengantisipasi potensi bahaya. Beliau memahami tabiat manusia, termasuk kecenderungan iri hati dan dengki yang bisa saja muncul terhadap keistimewaan yang dimiliki Yusuf kecil, sebagaimana pepatah mengatakan “setiap kenikmatan pasti ada yang mendengkinya”.
Setelah memberikan perlindungan dan nasihat, tibalah saatnya bagi Nabi Ya’qub untuk menafsirkan mimpi sang anak, sekaligus memberikan validasi dan konfirmasi atas potensi serta taqdir besar yang menanti sang anak di masa depan. Allah ﷻ berfirman:
وَكَذَٰلِكَ يَجۡتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِن تَأۡوِيلِ ٱلۡأَحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكَ وَعَلَىٰٓ ءَالِ يَعۡقُوبَ كَمَآ أَتَمَّهَا عَلَىٰٓ أَبَوَيۡكَ مِن قَبۡلُ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡحَٰقَۚ إِنَّ رَبَّكَ عَلِيمٌ حَكِيمٞ
Dan demikianlah, Tuhanmu memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [Yusuf:6]
Tidak ada karunia besar tanpa ujian besar. Maka, penjelasan tersebut memberikan kesiapan mental dan spiritual bagi sang anak dalam menghadapi taqdir serta ujian hidup. Meskipun Nabi Yusuf harus melalui berbagai macam ujian dan cobaan yang berat, ia tetap mampu teguh karena telah memiliki pemahaman awal tentang taqdirnya melalui mimpi yang ditafsirkan oleh sang ayah. Hal ini menunjukkan bahwa seorang ayah harus berperan sebagai pembimbing yang tidak hanya menafsirkan masa lalu, akan tetapi juga mempersiapkan anak untuk menghadapi masa depan.
Dua kisah agung ini, meski konteks dan tujuannya berbeda, keduanya menyajikan benang merah yang kuat tentang peran mimpi serta komunikasi dalam merajut kedekatan spiritual dan emosiaonal antara ayah – anak. Dari dua kisah tersebut, kita disajikan dialog terbuka antara ayah dan anak mengenai mimpi. Nabi Ibrahim tidak menyembunyikan perintah berat itu dari sang anak, melainkan mengajaknya berbicara. Sedangkan Nabi Yusuf, dengan kepolosannya, menceritakan mimpinya kepada sang ayah. Hal tersebut menunjukkan adanya iklim atau suasana kepercayaan dan keterbukaan dalam keluarga Nabi.
Membangun Ruang Mimpi dalam keluarga
Dalam konteks kehidupan modern yang serba cepat dan penuh distraksi, esensi berbagi mimpi ini menjadi semakin penting. Ditambah lagi komunikasi di era digital sering membuat kita terjebak dalam interaksi yang dangkal, mengurangi pentingnya dialog intim yang seharusnya membangun hubungan emosional. Gadget dan media sosial, alih-alih mendekatkan antara anggota keluarga, justru sering menciptakan sekat tak kasat mata antara mereka.
Berbagi mimpi, dalam konteks hari ini, tidak hanya berarti menceritakan mimpi tidur, tetapi juga membuka ruang untuk berbagi cita-cita, harapan, ketakutan, kegelisahan, dan potensi tersembunyi anak-anak kita. Seorang ayah, khususnya, memiliki peran krusial sebagai Penafsir Mimpi anak. Ini bukan berarti meramal masa depan, melainkan tentang kemampuan untuk mendengarkan dengan hati, memahami aspirasi terdalam anak, dan membantu mereka menafsirkan pengalaman hidup mereka dalam bingkai nilai-nilai islami. Seperti Nabi Ya'qub yang dengan bijak menafsirkan mimpi Yusuf dan memberikan nasihat, seorang ayah zaman ini juga perlu menjadi pendengar yang empatik, mampu membaca isyarat-isyarat non-verbal, dan memberikan respons yang membangun dan menguatkan.
Berbagi mimpi, dalam artian yang lebih luas, juga menjadi sarana efektif untuk mewariskan nilai-nilai agama dan moral dari generasi ke generasi. Ketika seorang ayah berbagi visi hidupnya, nilai-nilai yang diyakininya, atau bahkan pengalaman rohaninya sendiri, sejatinya ia sedang menanamkan benih-benih kebaikan dalam jiwa anaknya. Demikian pula, ketika anak berbagi impian dan tantangannya, seorang ayah memiliki kesempatan untuk membimbing mereka agar impian tersebut sejalan dengan ajaran Islam. Inilah proses pendidikan yang berkelanjutan, di mana nilai-nilai tidak hanya diajarkan di ruang-ruang kelas, tetapi juga diajarkan melalui pengalaman dan dialog di rumah.
Pada akhirnya, keluarga adalah madrasah pertama dan utama, tempat jiwa-jiwa diasah, karakter ditempa, dan benih-benih iman disemai. Di sanalah akhlak mulia terwujud dalam laku, kasih sayang mengalir tanpa batas, dan setiap jalinan hubungan dibingkai dalam ketaatan hakiki kepada Sang Pencipta. Semoga setiap keluarga senantiasa diberkahi Allah ﷻ, meneladani jejak langkah para Nabi, dan menjadikan setiap mimpi sebagai jembatan menuju ridha-Nya.