BUKAN SALAH CINTA

06 Mar 2024    3 menit baca
BUKAN SALAH CINTA

Cinta adalah sebuah ungkapan rasa yang tidak sederhana, ia mudah dirasakan dan diucapkan, namun sangat sulit untuk didefinisikan. Rasa Cinta memunculkan bermacam sikap dan perilaku yang berbeda-beda. Sikap dan perilaku yang baik akan menjaga nama baik Cinta, sedangkan sikap dan perilaku yang buruk akan menodai nama Cinta.

Allah membekali setiap makhluk-Nya dengan Cinta, sehingga dunia ini berjalan sebagaimana mestinya. Matahari, Bumi, Bulan, Bintang, semuanya bergerak sesuai posisinya karena Cinta mereka kepada Allah . Pohon berbuah, sungai mengalir, angin berhembus, serta lautan bergelombang, semuanya juga dikarenakan Cintanya kepada Allah .

Perhatikanlah hewan ternak yang menyusui anaknya, burung yang mencari makan untuk anaknya, serta hewan lain yang sedang bersama anak mereka. Bukankah semua itu terjadi karena Allah menanamkan rasa Cinta dalam diri makhluk tersebut terhadap anak-anak mereka? Demikian juga Manusia, sesungguhnya Allah juga telah menanamkan rasa Cinta ke dalam dada kita.

Sering kali Cinta disalahkan dan harus menanggung beban, seolah ia harus selalu bertanggung jawab atas perbuatan buruk manusia yang mengatasnamakan Cinta. Terkadang ia disebut gila ketika ada manusia yang sedang jatuh Cinta kehilangan akalnya, terkadang ia disebut buta ketika ada manusia yang sedang jatuh Cinta tak mampu melihat apa yang ada dengan mata kepalanya. Bahkan ia dikatakan sebagai sesuatu yang jahat, keji dan hina, manakala ada Manusia yang sedang jatuh cinta merasa tersakiti, kecewa hingga binasa.

Sekali lagi, bukan salah Cinta. Sesungguhnya sikap dan perilaku Manusialah yang mengotori kesucian cinta. Oleh karenanya, Rasulullah tidak pernah mencela Cinta. Perhatikanlah bagaimana sikap Rasulullah terhadap mereka yang sedang jatuh Cinta;

عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ زَوْجَ بَرِيرَةَ كَانَ عَبْدًا يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ، كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَطُوفُ خَلْفَهَا يَبْكِي وَدُمُوعُهُ تَسِيلُ عَلَى لِحْيَتِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعبَّاسٍ: «يَا عَبَّاسُ، أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيثٍ بَرِيرَةَ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيرَةَ مُغِيثًا» فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْ رَاجَعْتِهِ» قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: «إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ» قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِي فِيهِ.

Dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata, sesungguhnya suami Bariroh adalah seorang budak yang bernama Mughits. Aku ingat bagaimana Mughits mengikuti Bariroh di belakangnya sambil menangis dan air matanya mengalir membasahi jenggotnya.

Maka Nabi bersabda kepada ‘Abbas, “Wahai ‘Abbas! Tidakkah engkau heran terhadap besarnya cinta Mughits kepada Bariroh, serta besarnya kebencian Bariroh terhadap Mughits?.”

Lalu Nabi bersabda kepada Bariroh, “Andai engkau mau kembali kepada Mughits?!”

Bariroh mengatakan, ‘Wahai Rasulullah! Apakah sedang memberikanku perintah?”

Nabi menjawab, “Sesungguhnya aku hanya menjadi Syafi’ (perantara)”

Bariroh berkata, “Aku tidak ada kebutuhan padanya.” (HR. Bukhori no. 5283)

Singkat cerita, Bariroh menjadi wanita merdeka, sedangkan Mughits tetap dalam statusnya sebagai seorang budak. Karena di antara mereka sudah tidak lagi sekufu’, maka Bariroh berhak untuk minta diceraikan atau dipisahkan dari suaminya.

Sang mantan suami yang masih sangat mencintai Bariroh, tidak mampu lepas dari bayang-bayangnya. Sering kali ia mengikuti Bariroh sambil berlinang air mata, berharap agar Bariroh kembali ke dalam pelukannya. Namun faktanya, tidak terbesit sedikit pun dalam hati Bariroh untuk kembali.

Melihat kondisi tersebut, Rasulullah tidak pernah mencela Cinta yang ada pada diri Mughits. Bahkan beliau memberi saran kepada Bariroh untuk kembali kepada Mughits, agar mata yang menangis dan hati yang terluka karena rasa Cinta, kembali terobati oleh Cinta pula.

Kisah senada juga pernah terjadi, ketika seorang sahabat mengadu kepada Nabi akan perilaku buruk istrinya. Saat itu beliau menyarankan agar ia menceraikan istrinya, namun sahabat tersebut merasa berat karena ia masih sangat mencintai istrinya tersebut. Akhirnya Rasulullah pun membiarkannya dan tak pernah sekalipun mencela dan menyalahkan Cinta.

Masihkah kita mencela dan menyalahkan Cinta?

Jika Cinta kita tujukan dan kita tempatkan serta dibingkai sebagaimana mestinya, tentulah ia tetap pada kesuciannya. Cinta pada dunia tidak seharusnya menjadikan kita takut akan kematian dan lupa akan akhirat. Cinta pada selain Allah tidak seharusnya mengalihkan Cinta kita kepada Allah .

Belajarlah dari Nabi kita , bagaimana beliau mencintai istri, anak, keluarga, sahabat dan umat. Bahkan beliau juga mencintai tempat dan benda lainnya seperti: Makkah, Madinah, wewangian, kendaraan serta Hajar Aswad.

Cinta adalah Anugrah dari Yang Maha Kuasa kepada setiap jiwa, maka janganlah lagi kita menodai kesucian Cinta dengan sikap dan perilaku buruk kita!

lanjut baca