Tadi, waktu konsultasi TA (Tugas Akhir) dengan Ubai (panggilan untuk guru kami Ustadz Baihaqi, dosen di AGA sekaligus bapak anak-anak asrama), teman yang menemani saya bertanya.
“Afwan Ustadz, ada teman nitip pertanyaan, jadi dia mau berkurban. Qodarullah di perjalanan, mobil yang bawa kambing kecelakaan dan giginya patah. Bagaimana hukumnya berkurban dengan kambing yang giginya patah Ustadz?”
“Tidak apa-apa. Karena cacat tersebut terjadi dalam perjalanan. Namun, jika masih ada kesempatan atau kemampuan untuk mengganti, ya lebih baik tentunya. Sejatinya kambing itu adalah simbol, jika bisa dengan tumbuhan, mungkin akan disimbolkan dengan tumbuhan. Tetapi yang lebih terlihat pertumbuhan dan perkembangannya kan hewan, karena mereka bergerak. Kambing yang dirawat mulai dari baru lahir, kemudian digembala, diberi makan, teruus begitu setiap hari sampai besar, itu lebih terasa rasa memilikinya. Seperti Nabi Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih anak yang telah dirawatnya. Esensi dari berkurban ada di situ. Cinta itu butuh pengorbanan. Berkurban adalah bukti cinta. Ketika Allah memerintahkan kita untuk berkorban, mau nggak kita mengorbankan yang terbaik? Yang tanduknya nggak patah, yang giginya masih utuh, yang terbaik lah intinya. Tetapi kalau sekarang mungkin akan susah memahami hal itu karena orang-orang tidak menggembala dan merawat kambing yang dikurbankan.”
Kalau sekarang, kalau mau berkurban tinggal beli, dan mudah karena banyak yang jual. Tetapi sebenarnya bukan hanya tentang seberapa banyak atau besar yang bisa kita kurbankan untuk disembelih, tetapi pahami esensi dari berkurban itu untuk apa? Berkorban, merelakan, memberikan yang terbaik yang kita miliki. Pun berkorban itu bukan hanya dalam bentuk hewan, tetapi mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, harta dan semua yang dicinta, itu juga berkorban.
Sama seperti puasa, tidak hanya tentang menahan haus dan lapar, tetapi kita sedang berkorban untuk tidak menuruti semua yang kita ingini. Sehingga dari sana muncul pertahanan untuk tidak berkata yang sia-sia, tidak bermaksiat, tidak menyakiti, dan seterusnya. Jadi jangan hanya sekedar berkurban, jangan hanya sekedar puasa, tetapi pahami esensinya.
Oleh: Baiq Muna
Mahasiswi AGA4